Rabu, 06 Februari 2013

Nuansa dan Kedewasaan

Nuansa: kata benda 1. Variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dsb). 2. Kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai) Sumber: KBBI daring

Ketika mulai belajar mengenal dunia, kita mengenal sesuatu dengan rentang yang ekstrem dari satu kata sampai antonimnya seperti dua tebing yang terpisahkan tanpa dihubungkan sebuah jembatan. Misalnya, kita membagi karakter di sebuah film atau buku menjadi penjahat dan jagoan. Seakan tidak ada karakter yang berada di tengahnya. Sampai kriteria agar kita dianggap dewasa adalah kita mampu membedakan benar dan salah serta tak mencampuradukkan baik dan buruk.

Kita tak mengenal titik-titik di antara mereka. Tak ada istilah agak benar, kurang salah, sedikit baik, atau hampir buruk. Namun semakin dewasa, kita tak bisa menilai sesuatu dengan hitam atau putih. Di antara mereka ada gradasi yang memiliki nuansa.  Oleh karena itu menurut saya, dewasa tidak lagi berarti mampu membedakan benar dan salah atau baik dan buruk, dewasa adalah nuansa. Dewasa adalah peka terhadap perbedaan tipis antara dua makna, perasaan, atau nilai.

Memang benar, semakin saya dewasa, semakin saya merasakan bahwa ada dua hal yang masih orang-orang atau dulunya saya anggap sama, tetapi setelah dirasakan ada nuansa di antara keduanya. Maka, saya bisa mengatakan bahwa dua hal tersebut benar-benar berbeda. Kali ini saya akan memaparkan beberapa pasangan yang terasa sama, tetapi nyatanya berbeda, sependek pengalaman hidup dan ingatan saya serta kesempatan saya bercerita berikut.

1. Peduli-Kasihan

Manusia merupakan makhluk sosial sehingga membutuhkan orang lain. Untuk terus terpenuhinya kebutuhan kita dari mereka, kita harus peduli terhadap mereka. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk membuktikan bahwa kita peduli. Namun, cara-cara yang bervariasi tersebut menunjukkan nuansanya akhir-akhir ini. Bisa saya simpulkan bahwa cara tersebut bukanlah ekspresi kepedulian, tetapi ekspresi hal lain.

Misalnya salah satu teman kita mengalami musibah, katakanlah ayahnya meninggal. Kebanyakan dari kita akan membombardirnya dengan kalimat-kalimat yang menasihati agar ia tabah dan sabar menjalani percobaan tersebut lalu sering menanyakan kabarnya dan menawarkan bantuan kalau butuh apa-apa. Ini bukanlah peduli, melainkan kasihan. Bukannya tabah, ia akan merasa lebih terpuruk. Kalau kita benar-benar peduli, kita membantu sebutuhnya, membiarkannya dulu sejenak, dan bersiap menyambut ketika ia bangkit dengan kemampuannya sendiri.

Ekspresi kasihan, menurut saya, berdampak buruk kepada orang yang dikasihani. Orang tersebut akan ketergantungan pada rasa kasihan kita. Ketika kita berhenti menyuntikkan rasa kasihan itu, ia akan kembali pada kondisinya semula, baik karena tidak terpenuhinya adiksi itu maupun sebagai bentuk protes agar mendapatkan rasa kasihan kita kembali.

Contoh kecil yang suka saya amati adalah ketika seorang anak kecil yang sedang bermain jatuh. Bila orang tuanya langsung panik, menghampiri, memeriksa seluruh tubuhnya mencari setitik luka, dan mengusap-usap bagian tubuhnya yang terbentur tembok atau jalan, sang anak akan menangis. Semakin dikasihani, tangisan anak akan semakin kencang. Namun bila orang tuanya pura-pura tidak melihat, tidak bereaksi, sang anak hanya akan menepuk bagian tubuhnya yang sakit, meniup-niupinya juga mungkin, lantas lanjut bermain seperti tak terjadi apa-apa.

2. Berbeda Pendapat-Perpecahan

Kalau boleh jujur, nuansa di antara dua hal ingin saya jelaskan kepada orang tua, khususnya ibu. Namun karena mereka sudah tua, menjelaskan pikiran kita kepada mereka sama seperti usaha membentuk air. Mereka akan kembali seperti semula dengan pola pikir yang telah tertanam bertahun-tahun. Oleh karena itu saya pertimbangkan nuansa di antara dua hal ini jadi pembelajaran saya saja untuk menjadi orang tua yang saya inginkan.

Saya sering sekali berbeda pendapat dengan ibu. Alih-alih berekonsiliasi agar menyatukan pendapat saya dengan pendapat beliau sehingga menguntungkan kedua pihak tanpa ada pihak yang merasa dirugikan lebih banyak, biasa disebut win win solution, ibu tetap kukuh agar saya mengikuti kemauannya. Kalau saya tak menuruti, beliau akan menganggap saya anak yang tidak berbakti atau tidak menghormati beliau. Bahkan pada masa-masa awal mengalami perbedaan pendapat ini, dimulai ketika kuliah, saya merasa jadi anak yang durhaka. Untung saya tersadar bahwa itu adalah hal yang normal dan justru bagus. Karena bila ada niat untuk merekonsiliasi kedua pendapat yang berbeda, takkan ada pihak yang merasa selalu berkorban.

Kemudian di lingkungan pertemanan, seringkali kita mendapatkan dua orang yang kita pandang sebagai pasangan sahabat, selalu berbeda pendapat, tak pernah sepakat, saling mengkritik opini, menganggap yang lain salah, sedangkan dirinya benar. Kita yang jadi teman biasa saja merasa sangat terganggu, tetapi justru di situlah bukti kedekatan mereka.

Ada sebuah kondisi yang membuktikan dua orang begitu akrab, saat keduanya tak pernah merasa saling tersakiti...” – potongan ucapan Namib pada halaman 160 di novel Lampu Hasrat, ketika Alnord sebelumnya menganggap Namib dan Ghobi bermusuhan karena saling mengkritik. Baiklah, baiklah, mungkin terlalu narsistik dan kentara sebagai promosi colongan kalau menukil dari novel sendiri.

Justru itulah persahabatan sejati. Kita bisa bertengkar, mengeluarkan semua isi kepala kita dengan terus terang, tanpa khawatir ada yang benar-benar tersinggung,” – ungkap Si Kumis pada halaman 272 novel Sahara, mengaku setelah kematian si Cambang, teman berdebatnya.

3. Kagum-Tertarik

Tak perlu disebutkan betapa kita, laki-laki, begitu mengagumi keindahan fisik wanita. Itu adalah hal yang sangat normal. Namun bila dilihat dari kacamata biologis, kagum terhadap fisik wanita merupakan bentuk ketertarikan seksual. Bahkan sebuah penelitian mengatakan bahwa alasan pria selalu melirik wanita yang langsing serta berpayudara dan berpinggul besar adalah karena secara biologis menganggap wanita yang seperti itu akan dengan mudah memberikan keturunan. Lalu bagaimana bila kita mengagumi fisik laki-laki lain?

Pendapat yang tertanam di orang banyak adalah apabila mengagumi fisik laki-laki lain, katakanlah otot dada dan perut yang menonjol serta ketampanan, laki-laki tersebut dianggap menyimpang secara seksual. Mereka menyebut kaum seperti itu dengan istilah gay atau homo. Ini merupakan paradigma yang berbahaya karena bisa berdampak pada remaja yang belum paham.

Mengagumi fisik laki-laki lain tidak bisa disamakan dengan kacamata biologis seperti laki-laki mengagumi fisik seorang wanita. Mengagumi fisik laki-laki lain juga merupakan hal yang normal karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan. Bisa dianalogikan dengan rasa kagum dan tertarik kita pada hewan-hewan yang berwajah lucu. Tak bisa diartikan bahwa kita memiliki ketertarikan seksual terhadap hewan tersebut.

Remaja merupakan masa ketika mulai muncul perasaan-perasaan baru. Kadangkala mereka tidak tahu perasaan apa yang sedang mereka alami. Bahkan mereka belum bisa mengakui bahwa mereka jatuh cinta karena baru pertama kali merasakan cinta. Seperti yang saya bilang di awal, dengan kadar kedewasaan mereka yang masih kurang, mereka belum dapat membedakan satu hal dengan hal lain yang terlihat sama.

Katakanlah apabila ada remaja laki-laki yang mengagumi fisik teman laki-lakinya. Ia akan bingung dengan perasaan yang dialaminya tersebut. Dengan masalah komunikasi di dalam mayoritas keluarga Indonesia yang cenderung tertutup, remaja tersebut tidak memiliki tempat bertanya. Bertanya kepada temannya pun berisiko tinggi karena di lingkungannya berkembang paradigma tersebut, bahwa laki-laki yang mengagumi fisik laki-laki lain termasuk dalam pria yang suka sesama jenis. Akhirnya ia tak pernah mengerti dengan perasaan kagumnya tersebut dan menyimpulkan sendiri bahwa perasaan yang ia alami merupakan cinta kepada sejenis seperti paradigma yang beredar di lingkungannya. Hanya karena ia tak bisa membedakan bahwa kekaguman tersebut normal, akhirnya ia terjerumus pada paradigma dan simpulan sendiri dan menjadi kaum penyuka sesama jenis betulan.

Pesan saya kepada remaja laki-laki yang membaca postingan ini, saya tekankan sekali lagi bahwa kagum terhadap fisik teman laki-laki merupakan hal yang sangat normal, bukan pertanda penyimpangan seksual. Memuji kelebihan fisiknya secara langsung juga seharusnya tak jadi masalah. 

Saya yakin semakin dewasa, semakin banyak nuansa yang akan saya temukan atau rasakan, meskipun sekarang hal-hal tersebut terlihat sama. Mungkin teman-teman pernah merasakan nuansa lain dan bisa membagikan ceritanya di kolom komentar. Agar kita semakin dewasa, agar hati kita menjadi lebih awas terhadap nuansa sehingga apa yang kita lakukan bukan sebatas benar dan salah, tetapi juga mana yang terbaik untuk kita dan orang-orang di sekeliling kita.

1 komentar:

  1. maksudnya nuansa itu sama dengan proses atw batas toleransi? gw blm ngerti..hehehe

    BalasHapus