Senin, 04 Februari 2013

Aku Berbicara, Maka Aku Menulis

Empat hari berturut-turut saya menulis fiksi. Saya menulisnya rata-rata dalam kurun waktu dua jam, mungkin lebih tiga puluh atau empat puluh detik. Menuntaskannya dalam sekali tulis, apa yang terlintas di pikiran langsung dituangkan dalam kata-kata. Seselesainya pun segera dipublikasi, tanpa ditulis ulang, padahal seorang ahli yang bernama, ah saya memang payah dalam meangingat nama penemu teori dan tak sempat mencari di google, mengatakan bahwa sebagian besar first draft adalah sampah. Tulisan awal harus dipangkas atau diganti bungkus bahasanya sehingga lebih menarik. Saya hendak menulis buah pikiran, tetapi rasanya macet sekali.

Apa pasal? Saya berintrospeksi.

Semasa kuliah saya banyak omong sekali. Bahkan yang remeh temeh saya komentari. Saya memerhatikan sekeliling saya, dari perilaku teman yang mengesalkan sampai hal-hal kecil seperti kucing yang selalu berjalan di pinggir got meskipun jalan lebar. Semua hal dikomentari baik hanya dalam pikiran maupun dilontarkan melalui lisan, kecuali untuk beberapa hal yang kulit-kulit terluarnya pun tak saya ketahui.

Sebelum beralih ke blogspot, saya mempunyai rumah di multiply sejak tahun 2010. Selama dua tahun, postingan saya sudah sampai dua ratusan, baik yang berisi pikiran remeh-temeh maupun tulisan yang butuh pendalaman pikiran sampai tatanan kalimat pun saya perhatikan. Bahkan waktu itu saya suka menulis juga di notes facebook perihal pendapat saya terhadap suatu peristiwa atau menceritakan pengalaman saya saja. Banyak sekali komentar yang berdatangan, sampai ratusan. Seingat saya, setelah itu banyak teman-teman facebook yang rajin menulis notes juga dan tulisan mereka menarik, seakan saya menjadi pemrakarsa, padahal belum tentu juga. Intinya saya merasa tahu banyak hal sehingga banyak juga hal yang saya bicarakan dan saya bisa mempertanggungjawabkannya kebenarannya.

Hasilnya? Saya berhasil menulis dua buku fiksi. Jangan ditanya sudah laku berapa, bukan itu tujuan saya, tetapi kalau memang banyak yang beli pasti akan saya unjukkan. Maklumi saja, namanya juga manusia.

Setelah lulus kuliah, keadaan berubah. Saya berada dalam kondisi yang tak aman. Orang tua bersikap sudah melepaskan, sedangkan saya belum punya pegangan. Saya merasa dunia tidak lagi di dalam genggaman. Banyak hal-hal yang berada di luar kuasa saya. Saya bahkan tak bisa menentukan takdir sendiri. Yang ada hanya ketetapan, peraturan, serta keputusan dari Yang Di Atas dan atasan. Awalnya saya berkomentar, tetapi lama-lama hal yang saya komentari itu-itu saja dan komentar saya pun tak berguna, tak akan mengubah keadaan.

Saya lebih sibuk mengurusi diri sendiri, memenuhi kebutuhan psikologis yang terganggu karena berada dalam kondisi yang tak nyaman. Akhirnya saya tak sempat menoleh ke lingkungan. Saya lebih banyak diam. Komentar saya simpan. Biarlah saya jadi pendengar. Karena saya terlalu legowo, karena saya terlalu merasa memang begini seharusnya dan saya hanya harus bersabar. Tak ada lagi keinginan untuk mengubah keadaan, toh memang sudah terbiasa dihalang-halang. Ini membuat saya bisu beberapa lama. Di sekeliling saya pun terlalu banyak orang yang berbicara. Saya malas kalau omong saya hanya akan menambah suara tak berguna. Akhirnya tak ada tulisan nonfiksi yang bisa saya banggakan dalam masa-masa ini.

Memang tak mungkin menulis bila tak membaca. Menulis adalah buah pikiran dan buah-buah itu mengambil nutrisi dari tulisan-tulisan yang kita baca. Pun tak ada istilah bicara dulu tanpa berpikir karena lisan adalah hasil pikiran yang melontar. Semuanya hasil pikiran. Seperti kata Descartes, “aku berpikir, maka aku ada” sedangkan bentuk berpikir adalah berbicara dan menulis (yang merupakan wujud berbicara dalam huruf-huruf). Oleh karena itu, filosofi tadi bisa diturunkan menjadi “Aku berbicara, maka aku ada” dan “aku menulis, maka aku ada”. Mau lancar menulis ya banyak membaca, untuk memperkaya nutrisi, dan juga banyak berbicara. Komentari semua hal. Latih otak untuk berpikir. Banyaklah bercerita secara lisan. Hal remeh-temeh sekali pun. Itu akan melatih pikiran kita untuk merunutkan kronologis. Itu sangat bagus ketika diaplikasikan dalam menulis baik fiksi maupun nonfiksi. Biarlah orang mau menanggapi atau tidak, toh tujuan kita bukan untuk menghibur mereka, melainkan untuk meningkatkan kualitas diri sendiri.

Ayo tengok orang di sampingmu dan berceritalah tentang semuanya. Cerita tentang kisahmu menggosok gigi pagi ini dan buatlah ia tertarik. Berhenti sejenak membacanya, berhenti sejenak mendengarnya. Berbicaralah dan menulislah. Beberapa penulis terkenal pun sependapat (saya bukan penulis terkenal, tetapi ikut sepakat) bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang membuat pembaca merasa penulis sedang berbicara kepada mereka. Jadi semakin terbukti bahwa salah satu cara agar dapat menulis dengan lancar adalah rajin berbicara.


10 komentar:

  1. ah, pantesan tulisan gw selama ini kurang bagus. gw bukan orang gampang dan senang bercerita/berbicara :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pembaca menganggap kualitas tulisan Ernest Hemingway menurun setelah ganti editor. Yap, yang kita butuhkan memang editor yang suka mengemplang kita kalau tulisan terlihat asal-asalan.

      Hapus
  2. Pekalah terhadap lingkungan. Maka kamu akan punya bahan tak berbatas untuk dituliskan. - Gita Wiryawan :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gue sensitif kok sama perkembangan luar, tapi gue memilih untuk tidak bereaksi dan baru sadar ketika kadarnya melebihi batas.

      Hapus
  3. kalau saya malah kebanyakan bicara, jatuhnya malah dianggap bawel. Menulis memang membantu untuk menyeleksi apa yang sebaiknya keluar dari lisan, jadi menurut saya semakin rajin menulis semakin sistematis cara kita berbicara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya makanya. Akan ada efek timbal balik. Banyak berbicara melatih kita mengutarakan sesuatu ketika menulis. Menulis melatih kita menyeleksi hal-hal yang boleh dibicarakan dan membuat cara bicara kita jadi runut. Kedua kemampuan tersebut nanti akan berkembang secara sinergis.

      Hapus
  4. "saya bukan penulis terkenal, tetapi ikut sepakat" You will, Marli... You will!!! (*__*)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gimana ceritanya gue jadi penulis terkenal kalau lo aja enggak beli buku gue, heh? haha. Nanti aja deh gue nulis buku komersial-idealis dulu baru beli. Udah ada ide tinggal eksekusi. Doain aja diterima penerbit. Soalnya yang dua itu cuma untuk bersenang-senang.

      Hapus
  5. turut mengaminkan doa di atas comment saya.. ^__^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aah. Gue maunya jadi penulis yang kaya raya. Uang uang uang. $.$

      Hapus