Aku hanya merasa bahwa hari sudah subuh. Toh pemandangan saat aku
tidur dan saat aku bangun sama saja. Tanganku meraba-raba di meja samping
kasurku. Tongkat. Mana tongkatku? Akhirnya ketemu. Aku bangkit, mengetuk-ngetuk
tongkat mencari arah. Air bergemericik. Minyak panas berdesis, menandakan anakku
sedang masak di dapur. Aku beruntung punya anak sepertinya. Aku ke kamar mandi
dan berwudu lantas salat subuh. Setelah aku salat, anakku masuk dan mengatakan
makanan sudah siap di meja. Aku yang tak mau disiapkan makan di kamar. Enak
saja menganggap aku tak mampu makan di meja.
“Tadi ibu mimpi,” kataku, membuka pembicaraan pagi ini. Anakku
meletakkan piring berisi nasi. Dari aromanya aku tahu kalau lauknya ikan
tongkol, anakku sudah terlebih dahulu mencabut tulangnya, dan sayurnya lodeh.
“Mimpi apa?”
“Mimpi kamu mengaji,” kataku. “Indah sekali suaramu. Kamu baca
Ar-Rahman dan irama setiap kali kamu baca ayat yang berulang-ulang itu, nadamu
selalu berbeda. Tak bosan-bosan. Ibu sampai terngiang-ngiang sampai sekarang.
Lalu ibu memegang sesuatu, hangat, bentuknya bola, permukaannya halus sekali
seperti mukena sutera yang kamu belikan untuk ibu. Saat ibu guncang-guncang di
samping telinga, ada suara gemerisik seperti ada beras di dalamnya, tapi lebih
halus. Saat ibu endus, aroma mawarnya wangi sekali.”
“Benda apa itu?” katanya.
“Ibu tak tahu,” kataku. “Ibu tak pernah memegang benda itu sebelumnya.”
“Ya, semoga itu rezeki ibu,” katanya. “Berapa orang yang bakal dipijat
hari ini?”
“Ada tiga,” kataku.
Setelah makanan habis, ia langsung berganti pakaian dan siap berangkat
kerja.
“Aku kerja dulu,” katanya. Ia mengecup pipiku. “Ibu hati-hati di
jalan. Assalamualaikum.”
Aku menjawab salamnya lantas bersiap. Saat membuka pintu, aroma pagi
rasanya nikmat sekali. Segar. Udara sedikit lembap. Kurapatkan kardiganku. Tanah
lebih lembut daripada biasanya. Berarti tadi malam hujan saat aku tidur. Suara
ibu-ibu dan tukang sayur sudah terdengar. Ramai sekali mereka tertawa-tawa. Senang
mendengarnya.
“Assalamualaikum, Bu Yati,” kata Pak Temun, tukang sayur. Aku menjawabnya,
juga memberikan salam pada ibu-ibu lain. Ibu Hartomo menggodaku, suaranya khas
sekali. Apalagi saat ia tertawa, terkikik-kikik. Aku balas goda saja dirinya. Ia
tambah mengikik.
Akhirnya sampai di persimpangan. Orang-orang sepertiku, kata anakku, biasanya
menunggu ada orang yang menolong, tetapi aku selalu meminta tolong duluan. Aku
tak merasa harga diriku jatuh dengan meminta tolong, toh buktinya memang aku
butuh mereka. Aku juga meminta mereka memberhentikan angkot tujuanku. Aku
bersyukur tak pernah ada yang menolak. Saat mereka mengatakan sama-sama untuk
ucapan terima kasihku, aku yakin orang-orang kota tak secuai yang dipikirkan penduduk
kampungku. Supir angkot pun yang menurunkanku sesuai permintaanku di awal
selalu mengingatkanku untuk hati-hati. Peduli sekali mereka. Aku endus uang
yang akan kupakai untuk membayar, aroma kayu dengan campuran teh, itu uang lima
ribu. Aku endus juga uang kembaliannya. Satu berbau panci dicampur kaus kaki,
itu uang seribu. Satu berbau kasur bercampur plastik. Itu uang dua ribu. Pas.
Jujur sekali mereka.
Pertama aku mengurut Bu Rina. Ia suka sekali diurut betisnya.
Urat-urat kecilnya pun menonjol. Aku pernah meraba sepatu haknya. Tinggi
sekali. Ia selalu bercerita soal anak-anak muridnya. Menyenangkan sekali
mendengarnya. Ada juga Bu Wanda. Paling suka dipijat di pundak dan jari-jarinya.
Katanya ia bekerja di depan komputer seharian. Aku bertanya seberat apa
komputer itu sampai mengangkatnya membuat pundak dan jarinya sakit. Ia tertawa.
Lalu ia menjelaskan komputer. Aku tetap tak mengerti. Yang terakhir ada Bu Hani.
Rumahnya dekat dengan rumahku. Ia suka mengeluhkan anaknya, Kandela, yang takut
gelap. Langsung saja aku minta cucuku menangkap kunang-kunang sebanyak mungkin,
tapi Bu Hani tak ingin aku menawarkan diri dulu. Tunggu sampai ia siap sendiri,
katanya.
Setiap orang memang unik. Aku paling ingat Seno. Aku bertemu dia di
persimpangan ke arah rumahku. Baru saja aku merasakan getaran langkah kakinya
di kaki, menghadap, hendak minta diseberangkan, ia menawarkan tangannya lebih
dulu. Suaranya berat, tetapi terdengar ramah, pasti ia tersenyum saat mengatakannya.
Telapak tangan kanannyanya lebih kasar dan tebal daripada yang kiri, tetapi
genggamannya lembut. Mungkin ia seorang pemain basket atau hanya suka bermain
basket. Aku tahu karena aku pernah mengurut anak yang jadi pemain basket. Aku
takkan percaya bila ia mengaku sebagai kuli bangunan karena aku tahu tangan
kuli bangunan lebih kasar dari itu. Lagi pula kebanyakan dari mereka perokok,
sedangkan pemuda ini tak mengembuskan aroma tembakau.
Ban-ban mobil berdecit, getarannya berhenti semeter di kiriku. Ia
mulai memanduku dengan sebelah tangan.
Sesampainya kami di seberang, aku langsung berterima kasih. Namun ketika
aku menarik tanganku, ia menahannya. Nadinya terasa berdenyut lebih cepat,
menandakan jantungnya sedang berdebar. Ia merencanakan sesuatu, tetapi aku
percaya dia orang baik. Ia tak mungkin akan merampas uangku.
“Maaf, saya hanya mau tanya sesuatu,” katanya. “Apa ibu percaya
Tuhan?”
“Ibu percaya,” kataku. “Kalau di antara manusia saja ada yang bisa
melihat dan ada yang tidak, bahkan di antara yang dapat melihat saja ada yang
dapat melihat dengan baik dan ada yang melihat dengan samar-samar kalau tanpa
bantuan kacamata, ibu percaya di atas manusia pun pasti ada Yang Maha Melihat.
Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Saya seorang ateis, Bu. Saya tak percaya Tuhan,” terdengar lagi dari
nada suaranya kalau ia sedang tersenyum. “Saya hanya memercayai apa yang saya
lihat dan bertanya-tanya apakah ada seorang tunanetra, maaf seperti ibu ini,
yang tidak percaya Tuhan. Karena akan sangat ironis sekali ketika mereka
mengatakan bahwa mereka hanya memercayai yang mereka lihat, pasti mereka takkan
percaya apa-apa yang sebenarnya ada.”
“Ya karena butalah ibu percaya Tuhan,” kataku. “Kamu pernah tersetrum,
Nak? Kalau pernah, bagaimana rasanya?”
“Pernah,” katanya. “Entahlah, sakit juga tidak, hanya kaget, dan
membuat jantung berdebar sangat cepat.”
“Apa kau pernah melihat listrik itu?” kataku.
“Tidak pernah,” katanya. “Kalau ibu akan bilang kenapa saya lebih
percaya adanya listrik daripada adanya Tuhan, padahal saya tak pernah melihat
keduanya, saya hanya tidak pernah merasakan aliran Tuhan itu di diri saya.”
Aku hanya bisa tertawa.
“Ibu tak menilaiku yang tak enak seperti orang beragama lainnya?”
katanya.
“Kamu sudah menolongku, Nak,” kataku. “Ibu percaya bila ada orang yang
mengatakan bahwa kamu suka menolong orang lain juga. Kamu menghargai mereka apa
adanya. Kurasa itu sudah cukup untuk manusia. Apalagi manusia seperti ibu yang sangat
butuh bantuan orang lain.”
“Hanya ibu yang pernah bilang begitu,” suaranya terdengar semringah.
“Kamu terdengar bahagia sekali sepertinya, Nak,” kataku. “Seperti
orang yang akan menikah. Ibu ingat sekali suara menantu ibu menjelang
pernikahannya.”
“Aku memang ingin menikah bulan depan, Bu,” katanya. Ada nada terkejut
di sana.
“Selamat, Nak. Ibu senang mendengarnya,” kataku sambil tersenyum. “Kamu
masih muda, tetapi sudah siap berkomitmen. Ibu doakan semoga pernikahanmu
lancar dan membawa manfaat pada orang banyak juga agar anakmu kelak menjadi
anak yang menyenangkan bagi manusia lain seperti ayahnya.”
“Ibu mau mendoakanku yang tak percaya Tuhan?” katanya. “Bukankah itu
seperti mengirim surat kepada orang yang tak punya rumah?”
“Itu kan keyakinanmu, Nak. Keyakinan ibu ya beda,” kataku. “Boleh tahu
siapa namamu?”
“Ah, iya,” katanya. Tersenyum sekali lagi. “Saya Seno, Bu. Ibu namanya
siapa?”
“Panggil saja Bu Yati, Seno,” kataku. “Boleh kupegang wajahmu?”
“Boleh,” kata Seno.
Aku mengangkat tangan. Ia memegang tanganku, memandu sampai wajahnya.
Aku usap-usap rambutnya, keriting agak kasar, tapi tak panjang. Rambutnya
tercukur rapi. Keningnya berkerut-kerut sedikit, mungkin terlalu banyak
berpikir. Batang hidungnya mancung sekali, lancip di ujungnya. Pipinya membulat
tiba-tiba. Ia tersenyum. Sungguh pria yang beruntung. Senyumnya pasti manis
sekali karena ada lesung pipit di sana. Telinganya sedikit caplang. Ia pasti
pendengar yang baik. Bibirnya halus sekali, wanita yang berhasil mengecupnya
pastilah sangat dicintainya. Dagunya berbelah.
“Bentuk wajahmu bagus sekali. Kamu pasti amat tampan,” kataku. “Jagalah
wanita yang kamu cintai dan yang mencintaimu itu, Seno. Senang berbicara
denganmu, tapi ibu sudah harus pulang. Meskipun siang atau malam akan sama saja
bagi mata ibu, ibu sudah tak kuat pada angin malam.”
“Tungg. Ada sesuatu untuk ibu,” kata Seno. Terdengar bunyi ritsleting
panjang. Ia mengambil sesuatu dari tasnya. “Jaga baik-baik ya, Bu. Senang bisa
berbicara sama ibu, sayang aku sudah harus pergi dulu. Ada urusan. Aku permisi ya,
Bu.”
Aku tersentak saat menerimanya. Bentuknya bola. Halus sekali seperti
sutra. Aku hirup aromanya. Wangi mawar hinggap di penciumanku. Aku
guncang-guncang di telinga, ada yang bergemerisik. Aku berbalik.
“Benda ini apa namanya, Nak Seno?” kataku. Tak ada jawaban. Ia sudah
pergi rupanya. Aku mengarahkan tongkat lagi, menepuk-nepuk punggung trotoar.
Tak sabar sampai rumah dan menunggu anakku pulang. Ia pasti akan senang
mendengar cerita hari ini.
cerpen dengan makna yang sangat dalem. saya suka dialog ini:
BalasHapus“Ya karena butalah ibu percaya Tuhan,” kataku. “Kamu pernah tersetrum, Nak? Kalau pernah, bagaimana rasanya?”
“Pernah,” katanya. “Entahlah, sakit juga tidak, hanya kaget, dan membuat jantung berdebar sangat cepat.”
“Apa kau pernah melihat listrik itu?” kataku.
“Tidak pernah,” katanya. “Kalau ibu akan bilang kenapa saya lebih percaya adanya listrik daripada adanya Tuhan, padahal saya tak pernah melihat keduanya, saya hanya tidak pernah merasakan aliran Tuhan itu di diri saya.”
saya suka :D
salam Pegawai Diperbantukan
Terima kasih.
HapusSalam balik dari Eselon II Diperbantukan. :p
sudah baca cerpen saya yg ini belom? http://merekamwaktu.blogspot.com/2013/02/athea.html
BalasHapussepertinya menarik kalau Seno adalah Athea :D