Selasa, 05 Februari 2013

Bohlam dan Kecelakaan

Lokasinya berada dekat sebuah warung pempek. Bangunan sederhana itu tak menjorok dari jalan. Bertemu dengan aspal seakan menyuruh pejalan kaki untuk bersenggolan dengan kendaraan. Malam itu hujan. Jalan licin. Jarak pandang pendek karena tetes-tetes hujan memblokade cahaya. Jalan hanya dua jalur, masing-masing selajur. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju seperti pemangsa, sedikit berbelok mengambil jalur saya menghindari sesuatu di sisi kirinya, tanpa memelan dan menyalakan lampu sen. Saya membawa motor dengan kecepatan biasa, tak bisa dikatakan sepelan bersepeda juga, menepi ke kiri, tanpa memelankan laju karena tak ada halangan. Lampu sorot jauh mobil tersebut membutakan saya. Sekeliling jadi gelap. Lantas setelah bemper depannya lewat, sesosok orang muncul di depan saya, berjalan di aspal menuju warung pempek itu. Sontak saya menarik rem. Terlambat. 

Jalan licin. Motor saya terbanting ke ke kanan. Jok yang terkunci sampai terbuka paksa. Jaket hujan di dalamnya terhempas ke jalan. Spion kiri saya tertabrak. Beberapa milimeter di belakangnya kepala saya mendongak. Terpampang di depan mata badan mobil tersebut melaju. Badan tak bisa berkilat. Hanya pasrah diarahkan gaya reaksi. Maju sedikit saya mati. Syukurlah mobil tersebut lewat begitu saja. Saya masih bisa bangkit. Tiga luka mungil muncul di tangan kanan. Orang yang saya tabrak meringis. Sakit di bagian betis, tangisnya. Syukurlah tak ada darah. Ia meronta pada penjaga warung pempek tersebut, yang belakangan saya tahu merupakan keluarganya.

Saya meminggirkan motor. Tak bisa nyala. Orang-orang menggotong anak itu ke gang kecil di balik warung pempek itu. Beberapa orang bertanya siapa penabraknya, saya langsung mengaku. Mereka meminta penjelasan. Saya terangkan apa adanya. Yang ditakuti hanya saya akan dihakimi seperti anggapan saya terhadap kelas masyarakat seperti mereka. Namun, keberadaan saya di sana, saya yang menceritakan segalanya dan menunjukkan itikad baik untuk bertanggung jawab meredakan emosi mereka. Namanya Yati, korban saya itu, sepertinya masih SMA. Ia  langsung dibawa ke klinik dekat situ. Syukur tak ada apa-apa. Hanya harus dibawa ke tukang urut. Saya membayar dengan perasaan lega.

Mau tak mau saya menelepon orang rumah. Sebelumnya keluarga korban pun bertanya saya tinggal di mana dan kaget karena saya bertetangga. Saat saya bilang nama bapak, mereka mengaku kenal dengan beliau. Lalu bapak muncul di klinik meskipun tak saya minta. Ikut menemui keluarga mereka dan turut meminta maaf. Saya juga minta maaf sekali lagi pada korbannya dan pada keluarganya sebelum pulang. Motor hanya starternya yang tak bisa menyala, tetapi mesinnya masih berfungsi. Pulanglah saya. Makan, mandi, salat, dan sempat menulis setoran ke birokreasi. Berusaha seperti tak ada apa-apa. Setelah itu rencananya langsung tidur, tetapi ternyata adrenalin saya masih tersisa. Jam dua pun mata masih terjaga.

Selama itu saya terbayang-bayangi kronologis peristiwa tersebut.

Siangnya saya menyempatkan diri untuk membuka blog-blog peserta #7HariMenulis, setidaknya teman-teman pemrakarsa. Saya tertambat pada tulisan Galih Rakasiwi yang berjudul “Jakarta Motor City”. Isinya tentang kendaraan-kendaraan yang menyebalkan di Jakarta dan menganalogikan kendaraan tersebut sebagai halangan yang ditemui di jalan bagi pepsiman, kita, yang berusaha mencapai tujuan. Di antara pilihan-pilihan Galih, saya memberikan satu jenis kendaraan yang menyebalkan. Yakni motor, atau bisa kendaraan lain, yang tak menyalakan lampu atau lampunya pakai LED yang menyilaukan sampai membuat kita yang melihatnya buta sesaat.

Pulangnya saya datang ke kediaman pacar karena dia menitip barang di saya dan minta diantarkan. Setelah makan malam bersama, yang kami habiskan sambil menatap hujan yang menderas, saya pamit pulang setelah hujan reda. Tak ingin berlama-lama karena hendak menulis setoran. Saya juga merasa mood kurang bagus saat itu. Saya menyalakan mesin dan mengegas jalan, motor saya terpeleset di tempat, di pinggir aspal yang mengembung, dengan posisi saya masih berdiri. Pertama kalinya seperti itu di depannya. Pacar mendekat dan menyuruh hati-hati. Saya mengiyakan.

Di tengah perjalanan, hujan rintik, sedikit lebih deras daripada gerimis. Saya bukan tipe pengemudi yang suka mengebut, kecuali untuk mengejar absen yang hampir TL2, jadi melaju santai saja. Semakin dekat rumah saya semakin tak sabar ingin cepat sampai. Jaket dan celana sudah basah. Dari awal terlalu malas memakai jas hujan. Tikungan demi tikungan saya lewati. Lalu saya melihat mobil yang melaju dengan lampu jauh yang sangat menyilaukan. Yang melintas di pikiran saya hanya tulisan Galih tersebut dan komentar saya yang menyatakan betapa menyebalkannya kendaraan seperti itu.

Lalu terlihat warung pempek. Peristiwa itu terjadi.

Saat menceritakan kronologisnya pada keluarga korban, saya menceritakannya dengan sangat runut dan tertata. Tidak seperti kebiasaan saya yang kalau bercerita suka melompat-lompat alurnya dengan jargon “eh, sebelum itu ada satu kejadian lagi”. Mereka pun memahami cerita saya dengan seperti yang saya inginkan.

Light Bulb Phenomenon, itulah yang saya alami. LBP  merupakan sebuah fenomena neurosains, aktivitas otak yang membuat kita dapat mengingat dengan jelas runut kejadian dan lingkungan tempat terjadi kejadian tersebut untuk kejadian yang mengejutkan dan melibatkan emosi yang luar biasa.

Light Bulb Phenomenon dalam kejadian yang mainstream dan dangkal biasa terjadi pada seseorang yang baru diputusi oleh kekasihnya. Ketika bercerita ke teman-temannya, pasti ia dapat menjelaskannya dengan sangat detail. Bahkan sampai waktu kejadian dan pakaian yang dikenakan. Bahkan yang diutarakan bisa kronologis sejak berbulan-bulan lalu. Biasanya orang tersebut mendadak sadar bahwa ada tanda-tanda dari dulu bahwa pacarnya akan memutuskannya. Ia pun menyebut tanda-tanda tersebut dengan istilah firasat.

Begitu pula saya. Membaca tulisan tentang halangan di jalan. Mengomentarinya dengan kriteria kendaraan yang menurut saya menyebalkan. Terpeleset saat mau pulang ke rumah. Lalu kemudian muncul mobil itu. Seperti sebuah firasat bahwa kecelakaan tersebut akan terjadi. Di sisi lain, penganut teori sinkronisasi akan berpikir kejadian-kejadian yang saya alami tersebut yang menyebabkan kejadian itu sehingga mereka percaya firasat. Di sisi lain lagi, disangkutpautkan dengan hal-hal religius misalnya, ini mungkin teguran untuk saya yang beberapa hari ini nakal kepada-Nya, atau kata pacar saya, mungkin memang harus ada uang yang dikeluarkan untuk sedekah-sedekah yang tidak saya bayarkan akhir-akhir ini.

Saya tak mau ambil pusing tentang firasat atau teguran. Hari ini saya absen, tetapi tak di kantor untuk mengurus motor di bengkel. Motor sudah sehat seperti sediakala dan besok saya akan bekerja seperti biasa. Seakan tak ada apa-apa.

1 komentar:

  1. Marli, sebelum lo kecelakaan gw sempet bales komentar lo dengan "untung gw jarang nemuin yg kek begituan, li. alhamdulillah." kok ya malemnya lo kecelakaan :(

    BalasHapus