Rabu, 30 Januari 2013

Titik Hanya Terlihat di depan Ketiadaan


Ketakutanku akan gelap selalu berhasil merantai kakiku dalam pekat. Dan ia, ketika matahari menduduki singgasana angkasa pun, tetap mengungkungku dengan bayang-bayangnya. Ia tumbuh panjang seiring lembayung menyeruak. Kemudian saat malam ia menyatu dengan semesta, menjadi raksasa, dan aku tertelan dalam kengerian yang selalu ia kibaskan.

Ayah mendekapku dari belakang. Ibu menggenggam tanganku. Aku terpejam namun hangatnya terasa. Aku terlelap namun terjaga. Aman. Sejuk meniup. Selimut mengusir gigil. Gulita mempersiapkan segala asa untuk pagi buta. Di pusat kenyamanan aku meringkuk, kemudian keadaan menceburkanku ke dalam trauma di sebuah mangkuk.

Gemeretak jendela depan meyibak mataku. Telingaku mengais-ngais derap di lantai. Meja berderit. Laci berdecit. Aku mengintip dari rasa kantuk. Pintu berayun. Seseorang menyelinap sembari menggenggam cahaya. Mata parang mengedip penuh gertakan. Aku terpejam lekat-lekat. Orang itu mengusik lemari. Pintunya yang sudah usang memekik. Ayah mencelik lantas mendelik ke deraknya. Belum sempat perampok itu merogoh harta kami, ayah menyela. Cahaya di tangan maling itu terlontar. Mereka bergelut buta. Ibu terbangun dan menyembunyikanku dalam pelukannya. Aku mulai terisak.

“Tenanglah, Dela,” kata ibu. 

Kami berdiam dan berdoa. Takut terjadi apa-apa. Kemudian ayah berteriak. Lantang sekali. Ayahku orang kuat, ia tak pernah terlihat kesakitan. Namun saat itu aku tahu bahwa ia pun bisa terluka. Gerasak barang-barang mengalir ke pintu keluar. Perampok itu sudah pergi. Ibu menyalakan lampu. Darah tepercik ke seprai, lantai, dan dinding. Ayah mengerang di lantai. Pinggangnya menganga.

Aku mengerang. Ingatan tentang kejadian itu selalu menyala dalam gelap. “Ayah tak tahu seberapa takutnya aku itu akan terjadi lagi setiap hanya gelap di sekelilingku.”

“Sudah cukup, Yah,” kata ibu. Melihat mataku berkedut-kedut di balik kelopak. “Tak bisakah kau rasakan ketakutannya?”

“Ia tak boleh pilih kasih pada sebuah keseimbangan,” kata ayah. “Memilih terang sebagai teman, namun enggan menyapa gelap. Mereka akan memberatkannya sebelah dan membuatnya bimbang dalam kalap.”

“Ia akan siap bila sudah waktunya,” kata ibu. “Biar ia yang memunculkan kesiapannya sendiri.”

Ayah mengalah. Ia menggiringku ke kamar. Ia selalu ingin mengusir fobia yang telah merasukiku lebih dari sewindu itu. Sayang aku tak pernah mampu. Dadaku masih naik turun mengisap kekuatan. Semburat sinar menembus kelopak mata lantas aku membelalak agar menyerap sebanyak-banyaknya cahaya. Peluhku bercucuran. Aku seperti lilin yang meleleh. Bila terlalu lama, mungkin aku akan berbaur dengan gelap. Ayah memberiku segelas air. Aku meneguknya seperti unta. Setelah aku menenang, ia meminta maaf seperti dulu-dulu, namun kali ini juga mengatakan bahwa itu kali terakhir ia melakukannya. Ia keluar kamarku. Tanpa menutup pintu karena memang tak ada pintu di kamarku. Aku juga tak punya saklar. Lampu kamar dan ruang di depan kamarku tak pernah beristirahat. Kaca jendela kamarku pun sebelah kaca menghadap luar, sebelah cermin dalam kamar. Cahaya boleh masuk, namun takkan pernah bisa kabur.

Aku bercermin. Kulitku menyerap sebagian besar sinar. Coklat muda. Hasil akumulasi dari kebiasanku berendam di kolam cahaya. Berlari-lari di bawah matahari. Terpanggang tanpa sadar. Berfotosintesis menghasilkan keberanian. Aku tak pernah masuk definisi cantik jika cantik itu hanya putih. Takkan pernah dicintai jika yang menarik hanya yang cantik.

“Candela,” kata Rio. “Kebahagiaan membuat hidupku tak seimbang. Laksana neraca yang bergontai. Maukah kau menjadi bandulnya, tempatku berbagi kebahagiaan itu?”

Ia menyapa di awal dua puluhku, bagai sebuah pelita yang mengalihkan perhatianku dari malam beku.

“Kenapa kau tak pernah bersedia kuajak bermalam minggu?” Rio selalu mempertanyakan itu ketika aku minta diantarkan sebelum matahari terbenam. “Candle light dinner, di bawah langit berbintang, dengan alunan ombak, dengan penyejuk angin laut. Bukankah itu impian setiap wanita?”

Aku hanya berkata. “Mereka hanya sebuah ketidakabadian. Mengapa mencari sesuatu yang hanya bisa bertahan dalam malam? Apa kau hanya tak bisa mengalahkan matahariku dan selalu berusaha menyelinap saat ia tak sadar?” Dan pertanyaannya selalu kubalik dengan pertanyaan lagi. Tanpa bisa ia jawab. Akhirnya kami jarang sekali bertemu. Ia hanya punya waktu setelah senja dan tak pernah nyaman bercengkrama di ruang tamuku saja.

Kesabarannya berlubang. Keraguannya menyelinap lewat celah-celah, merobeknya sampai ruang hatinya penuh ketidakyakinan. Ia memutuskan hubunganku Sabtu siang itu. Belum sempat aku duduk, ia berdiri dan mengatakannya, lantas meninggalkanku yang terekat di sana. Kekesalanku membakar lilin-lilin keceriaanku di balik mata, membuatnya meleleh sampai jiwaku terasa padam, terembus kekecewaan.

Aku pulang, mengucap salam pada ibu dan Bu Yati, wanita tua tunanetra yang selalu memijat punggungnya Sabtu petang, lantas melengos sampai kamar. Di tempat tidur aku merebah, mengangkat kaki, menopang pinggang. Sikap lilin, kata guru olahraga SD-ku. Saat pertama mencobanya, aku merasa mendapat kekuatan yang membuatku ketagihan dan bertahan. Aku bisa menyerap energi bumi dan membakarnya di kakiku, menyalakan semangatku untuk tetap melangkah maju. Lantas aku berdiri di ambang pintu, memerhatikan ibu. Ketika mereka selesai aku mendekat, ingin mencoba. Seiring Bu Yati menghentak-hentak tubuhku, tangan ajaibnya memungut sampah penyumbat dari saluran energiku, dan tenaga dari bumi yang kuserap mengalir ke seluruh penjuru. Sampai kepalaku bertunas sebuah pertanyaan.

“Bu, maaf kalau tak sopan,” kataku. Ia mendehamkan izinnya. “Bagaimana rasanya selalu melihat kegelapan?”

“Rasanya seperti punya banyak mata,” kata Bu Yati. “Kalau kau hanya punya dua mata, yang kau liat hanya terbatas pada yang benar-benar ada, sedangkan ibu bisa melihatmu dengan segala rupa.”

“Apa ibu tak takut?”

“Untuk apa kau takut kalau kau bisa melihat segalanya?” katanya sambil menekan belikatku.

Aku terdiam sejenak, terpejam, energi Bu Yati mengalir ke darah.

“Ibu mau mengajariku melihat dalam gelap?” Mataku terbuka saat mengatakannya, lidahku berada di bawah kendali kesadaran. Tanpa jeda, Bu Yati mengiyakan.

Tubin, Bu Yati menutup mataku dengan kain kecilnya, mengikatku di tiang ketakberdayaan, menggiringku pada ketidaktahuan. Entah kemudian aku berada di mana. Tak ada cahaya menunjuk. Aku hilang arah. Yang berbisik hanya desing-desing sayap. Lalu Bu Yati membuka penutup mataku. Pandanganku samar-samar. Titik-titik beterbangan, melintasi mataku, telinga, kolong kakiku, sela jariku.

“Ketiadaan membuat jiwa-jiwa kecil merasa ada, merasa hidup, merasa berharga. Ketiadaan adalah kebutuhan. Kau bisa melihat hal-hal besar di bawah surya, tetapi kau akan melupakan hal-hal kecil, yang penting, yang berharga, karena surya hanya ingin kau tahu sebagian saja. Bawalah mereka pulang. Mereka akan menyerap ketakutanmu, menjadi pendar-pendar kekuatan yang bisa kau pakai untuk mengganti ingatanmu itu. Kita ini sebuah titik di selembar kertas dan titik pun hanya terlihat di depan ketiadaan. Apa artinya kita tanpanya?”

Bu Yati mengoleskan sesuatu yang katanya cairan penggoda cahaya. Aku keluar pintu, berjalan pulang, ternyata tak jauh dari rumah. Aku berputar di tiang, melompati partisi jalan, mengayunkan tangan, melangkah lebar-lebar. Mereka mengalir di sekelilingku, melindungi. Aku berkenalan dengan banyak hal. Sirius menyalak-nyalak di angkasa, menyalakan suasana. 

Minggu, 06 Januari 2013

Koneksi yang Terputus antara PER 31/2012 dan UU PPh


Sistem pemungutan pajak di Indonesia terdiri atas self assessment yang berarti pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri, official assessment yang berarti pemenuhannya oleh Wajib Pajak dilakukan setelah ada ketetapan dari fiskus, semiofficial assessment yang berarti pemenuhan oleh Wajib Pajak dilakukan setelah ada ketetapan dari fiskus berdasarkan pemberitahuan dari Wajib Pajak, dan witholding system yang berarti pemenuhannya dilakukan oleh pihak ketiga. Pemenuhan kewajiban atas pajak penghasilan dilakukan dengan cara official assessment, self assessment, dan witholding system. Kali ini, penulis hanya fokus pada dua sistem terakhir.

Pasal 20 UU PPh mengatur witholding system dengan bunyi sebagai berikut.

(1)
Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2)
Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)
Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final."

Dari situ bisa dilihat bahwa witholding system merupakan cara pemungutan dengan stelsel fiktif, penghitungan berdasarkan perkiraan penghasilan setahun, yang nanti menjadi kredit dari pajak yang dihitung ulang dengan self assessment yang menggunakan stelsel riil, penghitungan berdasarkan penghitungan penghasilan yang nyata-nyata didapat selama setahun.

Salah satu pajak yang dipungut melalui sistem witholding system adalah PPh 21, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.

Konsep dari teknis penghitungan witholding system, khususnya PPh 21 bagi pegawai tetap, adalah memperkecil selisih antara perkiraan penghasilan setahun dan penghasilan yang nyata-nyata didapat selama setahun, dengan kata lain stelsel fiktif dan stelsel riil diusahakan hampir sama. Hal itu bertujuan agar PPh 21 yang dipotong per bulan setimbang, tidak memberatkan subjek pajak (pihak yang penghasilannya dipotong PPh 21), dan PPh 29 di akhir tahun nihil untuk kemudahan administrasi bagi Wajib Pajak dan fiskus.

Oleh karena itu, untuk penyesuaian di bulan Desember bagi pegawai tetap, penghitungan PPh 21 harus sama dengan penghitungan PPh setahun. Namun, penulis menemukan keganjilan di teknis penghitungan PPh 21 untuk pegawai tetap yang kewajiban subjektifnya dimulai pada pertengahan tahun, lebih tepatnya pada pertengahan bulan di tengah tahun. 

Contoh kasus:
Mr. House dari Amerika, belum berkeluarga, bekerja sebagai pegawai tetap di perusahaan konstruksi di Indonesia sejak 20 Juli 2010 sehingga mengurus izin tinggal di Indonesia selama beberapa tahun. Pembayaran gaji dimulai tanggal 20 Juli 2010 sejumlah Rp10.000.000 tanpa ada potongan iuran. Berikut teknis penghitungan PPh 21 Mr. House per bulan berdasarkan PER 31/2009.

Pasal 9
(1)   Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
  1. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi :
    1. pegawai tetap;
Pasal 10
(2)   Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :
  1. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
(3)   Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
  1. biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
  2. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 14
(1)   Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
  1. Pegawai tetap;
(2)   Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
(3)   Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
  1. Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas):
(5)   Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.

(6)   Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.

(8)   Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.

Maka penghitungan PPh 21 sejak Juli sampai November adalah sebagai berikut.

Penghasilan bruto                                     Rp10.000.000
Biaya jabatan                                            (Rp500.000)__
Penghasilan neto                                      Rp9.500.000
Penghasilan neto disetahunkan                Rp114.000.000
PTKP                                                          (Rp15.840.000)
PKP                                                            Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                   Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                Rp7.224.000
                                                                  Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12                                   Rp4.862.000
PPh 21 per bulan
Rp4.862.000 : 6                                         Rp810.333

Penghitungan PPh 21 bulan Desember adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto                                     Rp60.000.000
Biaya jabatan                                            (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto                                      Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan                Rp114.000.000
PTKP                                                          (Rp15.840.000)
PKP                                                            Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                   Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                Rp7.224.000
                                                                  Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12                                   Rp4.862.000
PPh 21 yang telah dipotong
Rp810.333 x 5                                           (Rp4.051.665)
PPh 21 Desember                                     Rp810.335

Penghitungan dalam bukti potong A1 adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto                                     Rp60.000.000
Biaya jabatan                                            (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto                                      Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan                Rp114.000.000
PTKP                                                          (Rp15.840.000)
PKP                                                            Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                   Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                Rp7.224.000
                                                                  Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12                                   Rp4.862.000
PPh 21 yang telah dipotong                      (Rp4.862.000)
PPh kurang (lebih) potong                        NIHIL

Pada akhir tahun, Mr. House menghitung kembali PPh yang terutang selama setahun untuk dilaporkan dalam SPT Tahunan 2012. Teknis berdasarkan UU PPh adalah sebagai berikut.

Pasal 2A
(6)     Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak."

Pasal 16
(4)   Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

Pasal 17
(1)   Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
  1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)

(5)   Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.

Maka, penghitungan kembali PPh setahun oleh Mr. House, berdasarkan UU PPh, adalah sebagai berikut.

Penghasilan bruto                                                 Rp60.000.000
Biaya jabatan                                                        (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto                                                  Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan                            Rp114.000.000
PTKP                                                                      (Rp15.840.000)
PKP                                                                        Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                               Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                            Rp7.224.000
                                                                              Rp9.724.000
PPh terutang setahun (Pasal 17 ayat (5))
20 Juli 2012 – 31 Desember 2012 = 165 hari
165/360 x Rp9.724.000                                         Rp4.456.833

Kredit pajak PPh 21                                               (Rp4.862.000)
PPh lebih bayar                                                     Rp405.167

Kasus lebih bayar pada PPh 21 pada pegawai tetap hanya terjadi untuk yang kewajiban subjektifnya tetap ada saat berhenti sebelum Desember dan dari awal tahun tidak diketahui saat berhentinya. Kelebihan pemotongan tersebut dikembalikan bersama bukti pemotongan paling lambat akhir bulan setelah masa pajak terakhir pegawai tetap tersebut bekerja.

Untuk kasus di atas, pemberi kerja telah menerapkan penghitungan dengan tepat berdasarkan PER 31/2009 sehingga tidak ada kewajiban untuk mengembalikan. Dalam penghitungannya pun tidak lebih bayar. Namun, pada saat dihitung kembali dalam SPT Tahunan, pegawai tersebut mengalami lebih bayar dan hal tersebut akan menyebabkan dilakukannya pemeriksaan atas kelebihan bayar tersebut. Wajib pajak akan direpotkan dengan administrasi yang justru disebabkan karena mengikuti teknis penghitungan PPh yang terutang berdasarkan UU PPh. Belum ada kepastian hukum atas masalah ini sehingga fiskus pun bisa dipersulit dalam memecahkan masalah ini.

Hal itu tidak akan terjadi apabila untuk subjek pajak seperti Mr. House, Pasal 17 ayat (5) juga diterapkan dalam PER 31/2009. Penulis berharap aturan yang akan menggantinya menerapkan pasal tersebut, tetapi nyatanya PER 31/2012 tetap tidak mengaturnya.