Minggu, 06 Januari 2013

Koneksi yang Terputus antara PER 31/2012 dan UU PPh


Sistem pemungutan pajak di Indonesia terdiri atas self assessment yang berarti pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri, official assessment yang berarti pemenuhannya oleh Wajib Pajak dilakukan setelah ada ketetapan dari fiskus, semiofficial assessment yang berarti pemenuhan oleh Wajib Pajak dilakukan setelah ada ketetapan dari fiskus berdasarkan pemberitahuan dari Wajib Pajak, dan witholding system yang berarti pemenuhannya dilakukan oleh pihak ketiga. Pemenuhan kewajiban atas pajak penghasilan dilakukan dengan cara official assessment, self assessment, dan witholding system. Kali ini, penulis hanya fokus pada dua sistem terakhir.

Pasal 20 UU PPh mengatur witholding system dengan bunyi sebagai berikut.

(1)
Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2)
Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)
Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final."

Dari situ bisa dilihat bahwa witholding system merupakan cara pemungutan dengan stelsel fiktif, penghitungan berdasarkan perkiraan penghasilan setahun, yang nanti menjadi kredit dari pajak yang dihitung ulang dengan self assessment yang menggunakan stelsel riil, penghitungan berdasarkan penghitungan penghasilan yang nyata-nyata didapat selama setahun.

Salah satu pajak yang dipungut melalui sistem witholding system adalah PPh 21, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.

Konsep dari teknis penghitungan witholding system, khususnya PPh 21 bagi pegawai tetap, adalah memperkecil selisih antara perkiraan penghasilan setahun dan penghasilan yang nyata-nyata didapat selama setahun, dengan kata lain stelsel fiktif dan stelsel riil diusahakan hampir sama. Hal itu bertujuan agar PPh 21 yang dipotong per bulan setimbang, tidak memberatkan subjek pajak (pihak yang penghasilannya dipotong PPh 21), dan PPh 29 di akhir tahun nihil untuk kemudahan administrasi bagi Wajib Pajak dan fiskus.

Oleh karena itu, untuk penyesuaian di bulan Desember bagi pegawai tetap, penghitungan PPh 21 harus sama dengan penghitungan PPh setahun. Namun, penulis menemukan keganjilan di teknis penghitungan PPh 21 untuk pegawai tetap yang kewajiban subjektifnya dimulai pada pertengahan tahun, lebih tepatnya pada pertengahan bulan di tengah tahun. 

Contoh kasus:
Mr. House dari Amerika, belum berkeluarga, bekerja sebagai pegawai tetap di perusahaan konstruksi di Indonesia sejak 20 Juli 2010 sehingga mengurus izin tinggal di Indonesia selama beberapa tahun. Pembayaran gaji dimulai tanggal 20 Juli 2010 sejumlah Rp10.000.000 tanpa ada potongan iuran. Berikut teknis penghitungan PPh 21 Mr. House per bulan berdasarkan PER 31/2009.

Pasal 9
(1)   Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
  1. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi :
    1. pegawai tetap;
Pasal 10
(2)   Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :
  1. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
(3)   Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
  1. biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
  2. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 14
(1)   Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
  1. Pegawai tetap;
(2)   Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
(3)   Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
  1. Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas):
(5)   Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.

(6)   Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.

(8)   Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.

Maka penghitungan PPh 21 sejak Juli sampai November adalah sebagai berikut.

Penghasilan bruto                                     Rp10.000.000
Biaya jabatan                                            (Rp500.000)__
Penghasilan neto                                      Rp9.500.000
Penghasilan neto disetahunkan                Rp114.000.000
PTKP                                                          (Rp15.840.000)
PKP                                                            Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                   Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                Rp7.224.000
                                                                  Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12                                   Rp4.862.000
PPh 21 per bulan
Rp4.862.000 : 6                                         Rp810.333

Penghitungan PPh 21 bulan Desember adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto                                     Rp60.000.000
Biaya jabatan                                            (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto                                      Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan                Rp114.000.000
PTKP                                                          (Rp15.840.000)
PKP                                                            Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                   Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                Rp7.224.000
                                                                  Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12                                   Rp4.862.000
PPh 21 yang telah dipotong
Rp810.333 x 5                                           (Rp4.051.665)
PPh 21 Desember                                     Rp810.335

Penghitungan dalam bukti potong A1 adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto                                     Rp60.000.000
Biaya jabatan                                            (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto                                      Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan                Rp114.000.000
PTKP                                                          (Rp15.840.000)
PKP                                                            Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                   Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                Rp7.224.000
                                                                  Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12                                   Rp4.862.000
PPh 21 yang telah dipotong                      (Rp4.862.000)
PPh kurang (lebih) potong                        NIHIL

Pada akhir tahun, Mr. House menghitung kembali PPh yang terutang selama setahun untuk dilaporkan dalam SPT Tahunan 2012. Teknis berdasarkan UU PPh adalah sebagai berikut.

Pasal 2A
(6)     Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak."

Pasal 16
(4)   Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

Pasal 17
(1)   Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
  1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)

(5)   Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.

Maka, penghitungan kembali PPh setahun oleh Mr. House, berdasarkan UU PPh, adalah sebagai berikut.

Penghasilan bruto                                                 Rp60.000.000
Biaya jabatan                                                        (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto                                                  Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan                            Rp114.000.000
PTKP                                                                      (Rp15.840.000)
PKP                                                                        Rp98.160.000
PPh 21 setahun                            
5% x Rp50.000.000                                               Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000                                            Rp7.224.000
                                                                              Rp9.724.000
PPh terutang setahun (Pasal 17 ayat (5))
20 Juli 2012 – 31 Desember 2012 = 165 hari
165/360 x Rp9.724.000                                         Rp4.456.833

Kredit pajak PPh 21                                               (Rp4.862.000)
PPh lebih bayar                                                     Rp405.167

Kasus lebih bayar pada PPh 21 pada pegawai tetap hanya terjadi untuk yang kewajiban subjektifnya tetap ada saat berhenti sebelum Desember dan dari awal tahun tidak diketahui saat berhentinya. Kelebihan pemotongan tersebut dikembalikan bersama bukti pemotongan paling lambat akhir bulan setelah masa pajak terakhir pegawai tetap tersebut bekerja.

Untuk kasus di atas, pemberi kerja telah menerapkan penghitungan dengan tepat berdasarkan PER 31/2009 sehingga tidak ada kewajiban untuk mengembalikan. Dalam penghitungannya pun tidak lebih bayar. Namun, pada saat dihitung kembali dalam SPT Tahunan, pegawai tersebut mengalami lebih bayar dan hal tersebut akan menyebabkan dilakukannya pemeriksaan atas kelebihan bayar tersebut. Wajib pajak akan direpotkan dengan administrasi yang justru disebabkan karena mengikuti teknis penghitungan PPh yang terutang berdasarkan UU PPh. Belum ada kepastian hukum atas masalah ini sehingga fiskus pun bisa dipersulit dalam memecahkan masalah ini.

Hal itu tidak akan terjadi apabila untuk subjek pajak seperti Mr. House, Pasal 17 ayat (5) juga diterapkan dalam PER 31/2009. Penulis berharap aturan yang akan menggantinya menerapkan pasal tersebut, tetapi nyatanya PER 31/2012 tetap tidak mengaturnya.

1 komentar:

  1. 1.Mr Horse itu dari Amerika kan ya? Belum berkeluarga dengan orang Indonesia juga? Berarti selama masih dalam kurun waktu kurang dari 183 hari Mr. Horse masih dianggap sebagai WP LN meskipun dia terdaftar sebagai pegawai tetap. Jadinya dia harusnya sampai desember masih dipotong PPh pasal 26 sebesar 20%. Kecuali kalau contohnya dibuat mulai tanggal 10 bulan Maret, nanti sampai bulan keenam (183 hari) bisa dihitung PPh pasal 21. Pada saat bulan ke tujuh (lebih dari 183 hari), nanti baru dihitung ulang PPh nya selama 7 bulan dan PPh sebesar 20% yang sudah dibayar bisa dikreditkan dengan PPh terutang 7 bulan. Atau bisa juga saat Mr Horse langsung menandatangani kontrak selama 1 tahun dengan PT X, baru bisa dianggap WP DN.

    2.Ketentuan di pasal 17 ayat 5 itu berlaku untuk WP OP DN. Nah, kalau soalnya diganti, mungkin bisa. Jadi ceritanya Tuan Horse, sudah kerja bulan Maret, kemudian pindah ke luar negeri bulan Januari tahun berikutnya. Artinya si Horse adalah WP OP DN yang bekerja dalam bagian tahun pajak dan bisa diberlakukan pasal 17 ayat 5.

    3.Oya, kesepakatan di pasal 17 ayat 6 , 1 bulan itu dianggap 30 hari. Kalau aku ngeliat contoh yang diberikan marli mulai 20 juli hingga 30 des, sepertinya marli pakai perhitungan tanggal yang riil ya cz kalau pakai per bulan 30 hari, jadinya hanya 160 hari.

    4.Di luar semua itu, aku setuju banget ma Marli mengenai lebih bayar untuk WP OP yang kewajiban subjektifnya hilang pada akhir tahun / khususnya pertengahan bulan jika menilik kembali ketentuan dalam pasal 17 ayat . Sayang banget di PP 31 tahun 2009, PP 57 tahun 2009, hingga PP 31 tahun 2012 sepertinya pasal 17 ayat 5 ini dilupakan (sama seperti saya juga melupakan ayat ini ), akhirnya perhitungan yang ada di PER 31 pasti Nihil untuk WP-WP yang kewajiban subjektifnya baru ada/ hilang di bagian tahun pajak karena tidak pernah diperhitungkan jumlah hari seperti halnya dalam pasal 17 ayat 5. Hmmm….jadi bertanya2 buat apa ya dibuat pasal 17 ayat 5 itu?:D. Nice artikel & good idea yang bisa diangkat di PP II nih li ^^b

    BalasHapus