Sistem pemungutan pajak di Indonesia
terdiri atas self assessment yang
berarti pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri, official assessment yang berarti
pemenuhannya oleh Wajib Pajak dilakukan setelah ada ketetapan dari fiskus, semiofficial assessment yang berarti
pemenuhan oleh Wajib Pajak dilakukan setelah ada ketetapan dari fiskus
berdasarkan pemberitahuan dari Wajib Pajak, dan witholding system yang berarti pemenuhannya dilakukan oleh pihak
ketiga. Pemenuhan kewajiban atas pajak penghasilan dilakukan dengan cara official assessment, self assessment, dan
witholding system. Kali ini, penulis
hanya fokus pada dua sistem terakhir.
Pasal 20 UU PPh mengatur witholding system dengan bunyi sebagai
berikut.
(1)
|
Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu
tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui
pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh
Wajib Pajak sendiri.
|
(2)
|
Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
|
(3)
|
Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan
yang pengenaan pajaknya bersifat final."
|
Dari situ bisa dilihat bahwa witholding system merupakan cara
pemungutan dengan stelsel fiktif, penghitungan berdasarkan perkiraan penghasilan
setahun, yang nanti menjadi kredit dari pajak yang dihitung ulang dengan self assessment yang menggunakan stelsel
riil, penghitungan berdasarkan penghitungan penghasilan yang nyata-nyata
didapat selama setahun.
Salah satu pajak yang dipungut melalui
sistem witholding system adalah PPh
21, pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
Konsep dari teknis penghitungan witholding system, khususnya PPh 21 bagi
pegawai tetap, adalah memperkecil selisih antara perkiraan penghasilan setahun
dan penghasilan yang nyata-nyata didapat selama setahun, dengan kata lain
stelsel fiktif dan stelsel riil diusahakan hampir sama. Hal itu bertujuan agar
PPh 21 yang dipotong per bulan setimbang, tidak memberatkan subjek pajak (pihak
yang penghasilannya dipotong PPh 21), dan PPh 29 di akhir tahun nihil untuk
kemudahan administrasi bagi Wajib Pajak dan fiskus.
Oleh karena itu, untuk penyesuaian di
bulan Desember bagi pegawai tetap, penghitungan PPh 21 harus sama dengan
penghitungan PPh setahun. Namun, penulis menemukan keganjilan di teknis
penghitungan PPh 21 untuk pegawai tetap yang kewajiban subjektifnya dimulai
pada pertengahan tahun, lebih tepatnya pada pertengahan bulan di tengah tahun.
Contoh kasus:
Contoh kasus:
Mr. House dari Amerika,
belum berkeluarga, bekerja sebagai pegawai tetap di perusahaan konstruksi di
Indonesia sejak 20 Juli 2010 sehingga mengurus izin tinggal di Indonesia selama beberapa tahun. Pembayaran gaji dimulai tanggal 20 Juli 2010
sejumlah Rp10.000.000 tanpa ada potongan iuran. Berikut teknis penghitungan PPh
21 Mr. House per bulan berdasarkan PER 31/2009.
Pasal 9
(1) Dasar
pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
- Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi :
- pegawai tetap;
Pasal 10
(2) Penghasilan
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai
berikut :
- bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
(3) Besarnya
penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah
seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
- biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
- iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 14
(1) Tarif
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
- Pegawai tetap;
(2) Untuk perhitungan
PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak, kecuali masa pajak
terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh
selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 (dua belas);
(3) Jumlah PPh
Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah:
- Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibagi 12 (dua belas):
(5)
Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa
pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas
seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun
pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
(6)
Dalam hal pegawai tetap kewajiban
pajak subjektifnya hanya meliputi bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal
21 yang terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan
penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam
bagian tahun pajak yang bersangkutan.
(8) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar
penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.
Maka penghitungan PPh 21 sejak Juli
sampai November adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto Rp10.000.000
Biaya jabatan (Rp500.000)__
Penghasilan neto Rp9.500.000
Penghasilan neto disetahunkan Rp114.000.000
PTKP (Rp15.840.000)
PKP Rp98.160.000
PPh 21 setahun
5% x Rp50.000.000 Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000 Rp7.224.000
Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12 Rp4.862.000
PPh 21 per bulan
Rp4.862.000 : 6 Rp810.333
Penghitungan PPh 21 bulan Desember
adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto Rp60.000.000
Biaya jabatan (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan Rp114.000.000
PTKP (Rp15.840.000)
PKP Rp98.160.000
PPh 21 setahun
5% x Rp50.000.000 Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000 Rp7.224.000
Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12 Rp4.862.000
PPh 21 yang telah dipotong
Rp810.333 x 5 (Rp4.051.665)
PPh 21 Desember Rp810.335
Penghitungan dalam bukti potong A1
adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto Rp60.000.000
Biaya jabatan (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan Rp114.000.000
PTKP (Rp15.840.000)
PKP Rp98.160.000
PPh 21 setahun
5% x Rp50.000.000 Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000 Rp7.224.000
Rp9.724.000
PPh 21 terutang setahun
Rp9.724.000 x 6/12 Rp4.862.000
PPh 21 yang telah dipotong (Rp4.862.000)
PPh kurang (lebih) potong NIHIL
Pada akhir tahun, Mr. House menghitung
kembali PPh yang terutang selama setahun untuk dilaporkan dalam SPT Tahunan
2012. Teknis berdasarkan UU PPh adalah sebagai berikut.
Pasal 2A
(6) Apabila kewajiban pajak subyektif orang
pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi
sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun
pajak."
Pasal 16
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan
neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Pasal 17
(1) Tarif pajak
yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
- Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan
Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah)
|
5%
(lima persen) |
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
|
15%
(lima belas persen) |
di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
|
25%
(dua puluh lima persen) |
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
|
30%
(tiga puluh persen) |
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari
dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan
dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
Maka, penghitungan kembali PPh setahun
oleh Mr. House, berdasarkan UU PPh, adalah sebagai berikut.
Penghasilan bruto Rp60.000.000
Biaya jabatan (Rp3.000.000)__
Penghasilan neto Rp57.000.000
Penghasilan neto disetahunkan Rp114.000.000
PTKP (Rp15.840.000)
PKP Rp98.160.000
PPh 21 setahun
5% x Rp50.000.000 Rp2.500.000
15% x Rp 48.160.000 Rp7.224.000
Rp9.724.000
PPh terutang setahun (Pasal 17 ayat
(5))
20 Juli 2012 – 31 Desember 2012 = 165 hari
165/360 x Rp9.724.000 Rp4.456.833
Kredit pajak PPh 21 (Rp4.862.000)
PPh lebih bayar Rp405.167
Kasus lebih bayar pada PPh 21 pada
pegawai tetap hanya terjadi untuk yang kewajiban subjektifnya tetap ada saat
berhenti sebelum Desember dan dari awal tahun tidak diketahui saat berhentinya.
Kelebihan pemotongan tersebut dikembalikan bersama bukti pemotongan paling
lambat akhir bulan setelah masa pajak terakhir pegawai tetap tersebut bekerja.
Untuk kasus di atas, pemberi kerja
telah menerapkan penghitungan dengan tepat berdasarkan PER 31/2009 sehingga
tidak ada kewajiban untuk mengembalikan. Dalam penghitungannya pun tidak lebih
bayar. Namun, pada saat dihitung kembali dalam SPT Tahunan, pegawai tersebut
mengalami lebih bayar dan hal tersebut akan menyebabkan dilakukannya pemeriksaan
atas kelebihan bayar tersebut. Wajib pajak akan direpotkan dengan administrasi
yang justru disebabkan karena mengikuti teknis penghitungan PPh yang terutang
berdasarkan UU PPh. Belum ada kepastian hukum atas masalah ini sehingga fiskus
pun bisa dipersulit dalam memecahkan masalah ini.
Hal itu tidak akan terjadi apabila untuk
subjek pajak seperti Mr. House, Pasal 17 ayat (5) juga diterapkan dalam PER
31/2009. Penulis berharap aturan yang akan menggantinya menerapkan pasal tersebut, tetapi nyatanya PER 31/2012 tetap tidak mengaturnya.
1.Mr Horse itu dari Amerika kan ya? Belum berkeluarga dengan orang Indonesia juga? Berarti selama masih dalam kurun waktu kurang dari 183 hari Mr. Horse masih dianggap sebagai WP LN meskipun dia terdaftar sebagai pegawai tetap. Jadinya dia harusnya sampai desember masih dipotong PPh pasal 26 sebesar 20%. Kecuali kalau contohnya dibuat mulai tanggal 10 bulan Maret, nanti sampai bulan keenam (183 hari) bisa dihitung PPh pasal 21. Pada saat bulan ke tujuh (lebih dari 183 hari), nanti baru dihitung ulang PPh nya selama 7 bulan dan PPh sebesar 20% yang sudah dibayar bisa dikreditkan dengan PPh terutang 7 bulan. Atau bisa juga saat Mr Horse langsung menandatangani kontrak selama 1 tahun dengan PT X, baru bisa dianggap WP DN.
BalasHapus2.Ketentuan di pasal 17 ayat 5 itu berlaku untuk WP OP DN. Nah, kalau soalnya diganti, mungkin bisa. Jadi ceritanya Tuan Horse, sudah kerja bulan Maret, kemudian pindah ke luar negeri bulan Januari tahun berikutnya. Artinya si Horse adalah WP OP DN yang bekerja dalam bagian tahun pajak dan bisa diberlakukan pasal 17 ayat 5.
3.Oya, kesepakatan di pasal 17 ayat 6 , 1 bulan itu dianggap 30 hari. Kalau aku ngeliat contoh yang diberikan marli mulai 20 juli hingga 30 des, sepertinya marli pakai perhitungan tanggal yang riil ya cz kalau pakai per bulan 30 hari, jadinya hanya 160 hari.
4.Di luar semua itu, aku setuju banget ma Marli mengenai lebih bayar untuk WP OP yang kewajiban subjektifnya hilang pada akhir tahun / khususnya pertengahan bulan jika menilik kembali ketentuan dalam pasal 17 ayat . Sayang banget di PP 31 tahun 2009, PP 57 tahun 2009, hingga PP 31 tahun 2012 sepertinya pasal 17 ayat 5 ini dilupakan (sama seperti saya juga melupakan ayat ini ), akhirnya perhitungan yang ada di PER 31 pasti Nihil untuk WP-WP yang kewajiban subjektifnya baru ada/ hilang di bagian tahun pajak karena tidak pernah diperhitungkan jumlah hari seperti halnya dalam pasal 17 ayat 5. Hmmm….jadi bertanya2 buat apa ya dibuat pasal 17 ayat 5 itu?:D. Nice artikel & good idea yang bisa diangkat di PP II nih li ^^b