Sabtu, 07 September 2013

Seteguk Bir dan Susu Kedelai



Sebuah kicauan sumbang tentang tulisan Gita berjudul Als Ik Eens juncto Sedikit Tanggapan Buat Heru.


Git.
Kudengar kau mengeluh di sana, di kota yang kausiratkan bukan salah satu kota wisata, yang kausiratkan tak memiliki gunung yang rimbun dan pantai yang menawarkan senja. Yang kausiratkan lebih mirip tempat pembuangan seperti pulau Buru pada era orde baru. Yang kaubilang tak mungkin ada yang iri dengan kota penempatanmu itu. Kau pun berandai-andai ditempatkan di Jakarta.

Aku penempatan di Jakarta. Aku masih menghuni istana orang tuaku dan bernapas dengan kasih sayang mereka. Setiap hari aku bertemu dengan keluargaku, mendengar kecerewetan ibuku yang begitu perhatian menyuruhku segera makan malam, mendengar tawa ria adikku yang genit mencoba pakaian barunya hadiah dariku. Juga setidaknya sekali dalam seminggu aku bertemu dengan kekasihku, berbagi cerita dan kebahagiaan. Aku menjemput dan mengajaknya duduk-duduk di taman. Itu membuatnya senang. Dia mentraktirku jajanan yang lalu lalang. Itu membikinku riang. Kami berdua saling memberi sepenuh kemampuan, bukan hanya pengorbanan sepihak seperti membeli tiket pesawat termahal untuk menemui seseorang dalam beberapa jam di Jakarta, seperti yang kaulakukan, seperti yang selalu bisa kausombongkan itu. Mengetahui ini, kau tidak sampai berandai-andai jadi diriku kan?

Git,
Kudengar yang kaukeluhkan adalah kelakuan mereka—yang penempatan di Jakarta, bisa saja termasuk aku—yang katamu kesombongannya melebihi Firaun sehabis menang undian siapa-yang-menjadi-raja di alam sebelumnya. Entahlah, kurasa mereka memang berhak merasa menang. Bermusabab, semasa pendidikan dulu mereka menahan berahi untuk mengingari dunia, demi sebercak ilmu setiap harinya, untuk menggenggam hasil tinggi, sampai menggadaikan waktunya bersuka ria, sebagai agunan untuk masa depan yang lebih menentramkan. Untuk dapat bisa menginjak rumput di pekarangan rumah sendiri setiap pulang kerja. Dan akhirnya mereka berhasil menang, bukan atas siapa-siapa, melainkan atas diri mereka sendiri saja.

Bukankah kita berdua, juga teman-teman sekorsa lain, dari awal sudah tahu bahwa kota penempatan adalah imbas dari apa yang kita lakukan semasa kuliah dulu? Sebagaimana surga untuk balasan pahala dan neraka untuk balasan dosa, kalau kau masih percaya keduanya. Kurasa kau bisa menilai sendiri bagaimana kau menghidupkan masa-masa kuliahmu. Maka ketika kau menentukan gaya hidup, saat itulah kau memilih konsekuensimu. Pun bila terlanjur hanyut ke sana, kau bisa memanfaatkan setiap jumput kesempatan yang bisa saja tak pernah ada yang kedua, seperti diklat kemarin, atau kau masih mengambil konsekuensi yang sama?

Lelaki boleh saja menangisi keadaan, wahai temanku Gita, tetapi nista baginya untuk mengeluhkan konsekuensi yang telah dicakupnya. Mengeluh hanyalah hak lelaki yang telah berjuang mati-matian mengeluarkan dirinya sendiri dari ketidaknyamanan. Itu pun sejenak lalu, seperti bernapas ketika setengah menenggak jamu.

Git,
Aku pernah mencuri dengar kau mengutuk FPI yang bersikeras melarang warung-warung kecil untuk berjualan ketika bulan puasa. Mereka pikir itu perbuatan intoleran kepada orang-orang yang sedang beribadah menahan lapar dan dahaganya. Kaubilang, bukankah seharusnya kaum muslim yang berpuasa pun tahan bila orang-orang tersebut makan di hadapannya? Kenapa mereka yang tidak berpuasa harus ikut berpuasa? Entah mengapa ketika kau menganggap mereka yang penempatan di Jakarta memamerkan kesenangan adalah intoleransi kepada teman-teman sepertimu yang tereban di antah berantah, rasanya aku menangkap ada setadah iras antara fikrahmu itu dan adicita orang-orang yang mengaku sebagai pembela agama islam tersebut. Kau hanya sedang puasa, Gita, hanya saja lebih lama dari biasanya dan tak tahu kapan bisa berbuka.

Git,
Pernahkah kau mendengar ceritaku tentang Topeng Malaikat? Kuberitahu kau, Git, terkadang orang memajang kebahagiaannya di tempat umum hanya untuk menutupi kesulitannya. Mereka terus membungkusnya dengan senyuman yang dipaksakan sampai yang tampak dari luar hanyalah kesempurnaan. Mereka tampak bersyukur seperti malaikat. Namun itu hanyalah topeng belaka, karena di hati masih tebersit keluhan. Atau mungkin sebaiknya aku membuka topeng malaikatku? Tapi tidak di sini. Lebih baik kita duduk mengelilingi meja bundar. Kau meneguk bir dan mengisap rokokmu; aku meneguk susu kedelai dan mengunyah astorku. Bukan untuk merebutkan posisi siapa yang paling menderita di antara kita berdua, tetapi kita memang harus menyempatkan diri untuk menertawai nasib diri sendiri dan saling menertawakan. Maka dari itu, kadang mengeluh jadi pahala bagi orang yang terlihat sempurna itu. Karena itu membuat orang yang tersilaukan matanya menjadi tahu, bahwa tidak semenyenangkan itu jadinya dan bersyukur dengan keadaan diri sendiri. Maka, aku berterima kasih padamu, yang telah mengeluh dan membuatku semakin mensyukuri segala nikmat yang diamanahkan kepadaku, yang justru membuat Tuhanku menambahkan nikmatnya lagi.

Git,
Kalau kau punya waktu senggang, bacalah esai God, Suicide, and the Meaning of Life dari Mark Conard, seorang filsuf Amerika. Dia menggunakan cerita film Shadows and Fog milik Woody Allen sebagai alat bantu. Dia mengatakan bahwa, "Kita butuh distraction, kita butuh ilusi dan penipuan-diri, untuk menghindarkan kita terhadap "kenyataan menyakitkan dari hidup". Maka dari itu, untuk menghindarkan kau dari mengeluh, kau harus punya pengalih perhatian, kawan. Kutahu kau pandai menulis. Selain itu, kau juga pernah memamerkan dirimu yang pernah ditawari sebuah penerbit untuk membukukan tulisan-tulisanmu agar semakin banyak orang yang membaca. Kenapa tak kaumanfaatkan saja itu? Kau bisa tenggelam di untaian-untaian kata yang kausulam, ditemani suara jangkrik malam hari, diterangi bintang yang sinarnya laksana ilham di ujung jari. Waktumu kan tak habis terbakar jadi asap knalpot. Tenagamu juga tak habis untuk menyangga motor di persimpangan. Dan kuyakin besoknya tak pernah terpikir lagi olehmu keluhan-keluhan bodoh itu.

Aku takut kau jadi terbiasa mengeluh, kawan. Aku takut kau berakhir menjadi seperti apa yang dikatakan oleh sang penyair berkebangsaan Inggris bernama Samuel Johnson itu. Ucapannya begitu menyeramkan. Ia berujar, "Man alone is born crying, lives complaining, and dies disappointed."

Rabu, 06 Februari 2013

Nuansa dan Kedewasaan

Nuansa: kata benda 1. Variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dsb). 2. Kepekaan terhadap, kewaspadaan atas, atau kemampuan menyatakan adanya pergeseran yang kecil sekali (tentang makna, perasaan, atau nilai) Sumber: KBBI daring

Ketika mulai belajar mengenal dunia, kita mengenal sesuatu dengan rentang yang ekstrem dari satu kata sampai antonimnya seperti dua tebing yang terpisahkan tanpa dihubungkan sebuah jembatan. Misalnya, kita membagi karakter di sebuah film atau buku menjadi penjahat dan jagoan. Seakan tidak ada karakter yang berada di tengahnya. Sampai kriteria agar kita dianggap dewasa adalah kita mampu membedakan benar dan salah serta tak mencampuradukkan baik dan buruk.

Kita tak mengenal titik-titik di antara mereka. Tak ada istilah agak benar, kurang salah, sedikit baik, atau hampir buruk. Namun semakin dewasa, kita tak bisa menilai sesuatu dengan hitam atau putih. Di antara mereka ada gradasi yang memiliki nuansa.  Oleh karena itu menurut saya, dewasa tidak lagi berarti mampu membedakan benar dan salah atau baik dan buruk, dewasa adalah nuansa. Dewasa adalah peka terhadap perbedaan tipis antara dua makna, perasaan, atau nilai.

Memang benar, semakin saya dewasa, semakin saya merasakan bahwa ada dua hal yang masih orang-orang atau dulunya saya anggap sama, tetapi setelah dirasakan ada nuansa di antara keduanya. Maka, saya bisa mengatakan bahwa dua hal tersebut benar-benar berbeda. Kali ini saya akan memaparkan beberapa pasangan yang terasa sama, tetapi nyatanya berbeda, sependek pengalaman hidup dan ingatan saya serta kesempatan saya bercerita berikut.

1. Peduli-Kasihan

Manusia merupakan makhluk sosial sehingga membutuhkan orang lain. Untuk terus terpenuhinya kebutuhan kita dari mereka, kita harus peduli terhadap mereka. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk membuktikan bahwa kita peduli. Namun, cara-cara yang bervariasi tersebut menunjukkan nuansanya akhir-akhir ini. Bisa saya simpulkan bahwa cara tersebut bukanlah ekspresi kepedulian, tetapi ekspresi hal lain.

Misalnya salah satu teman kita mengalami musibah, katakanlah ayahnya meninggal. Kebanyakan dari kita akan membombardirnya dengan kalimat-kalimat yang menasihati agar ia tabah dan sabar menjalani percobaan tersebut lalu sering menanyakan kabarnya dan menawarkan bantuan kalau butuh apa-apa. Ini bukanlah peduli, melainkan kasihan. Bukannya tabah, ia akan merasa lebih terpuruk. Kalau kita benar-benar peduli, kita membantu sebutuhnya, membiarkannya dulu sejenak, dan bersiap menyambut ketika ia bangkit dengan kemampuannya sendiri.

Ekspresi kasihan, menurut saya, berdampak buruk kepada orang yang dikasihani. Orang tersebut akan ketergantungan pada rasa kasihan kita. Ketika kita berhenti menyuntikkan rasa kasihan itu, ia akan kembali pada kondisinya semula, baik karena tidak terpenuhinya adiksi itu maupun sebagai bentuk protes agar mendapatkan rasa kasihan kita kembali.

Contoh kecil yang suka saya amati adalah ketika seorang anak kecil yang sedang bermain jatuh. Bila orang tuanya langsung panik, menghampiri, memeriksa seluruh tubuhnya mencari setitik luka, dan mengusap-usap bagian tubuhnya yang terbentur tembok atau jalan, sang anak akan menangis. Semakin dikasihani, tangisan anak akan semakin kencang. Namun bila orang tuanya pura-pura tidak melihat, tidak bereaksi, sang anak hanya akan menepuk bagian tubuhnya yang sakit, meniup-niupinya juga mungkin, lantas lanjut bermain seperti tak terjadi apa-apa.

2. Berbeda Pendapat-Perpecahan

Kalau boleh jujur, nuansa di antara dua hal ingin saya jelaskan kepada orang tua, khususnya ibu. Namun karena mereka sudah tua, menjelaskan pikiran kita kepada mereka sama seperti usaha membentuk air. Mereka akan kembali seperti semula dengan pola pikir yang telah tertanam bertahun-tahun. Oleh karena itu saya pertimbangkan nuansa di antara dua hal ini jadi pembelajaran saya saja untuk menjadi orang tua yang saya inginkan.

Saya sering sekali berbeda pendapat dengan ibu. Alih-alih berekonsiliasi agar menyatukan pendapat saya dengan pendapat beliau sehingga menguntungkan kedua pihak tanpa ada pihak yang merasa dirugikan lebih banyak, biasa disebut win win solution, ibu tetap kukuh agar saya mengikuti kemauannya. Kalau saya tak menuruti, beliau akan menganggap saya anak yang tidak berbakti atau tidak menghormati beliau. Bahkan pada masa-masa awal mengalami perbedaan pendapat ini, dimulai ketika kuliah, saya merasa jadi anak yang durhaka. Untung saya tersadar bahwa itu adalah hal yang normal dan justru bagus. Karena bila ada niat untuk merekonsiliasi kedua pendapat yang berbeda, takkan ada pihak yang merasa selalu berkorban.

Kemudian di lingkungan pertemanan, seringkali kita mendapatkan dua orang yang kita pandang sebagai pasangan sahabat, selalu berbeda pendapat, tak pernah sepakat, saling mengkritik opini, menganggap yang lain salah, sedangkan dirinya benar. Kita yang jadi teman biasa saja merasa sangat terganggu, tetapi justru di situlah bukti kedekatan mereka.

Ada sebuah kondisi yang membuktikan dua orang begitu akrab, saat keduanya tak pernah merasa saling tersakiti...” – potongan ucapan Namib pada halaman 160 di novel Lampu Hasrat, ketika Alnord sebelumnya menganggap Namib dan Ghobi bermusuhan karena saling mengkritik. Baiklah, baiklah, mungkin terlalu narsistik dan kentara sebagai promosi colongan kalau menukil dari novel sendiri.

Justru itulah persahabatan sejati. Kita bisa bertengkar, mengeluarkan semua isi kepala kita dengan terus terang, tanpa khawatir ada yang benar-benar tersinggung,” – ungkap Si Kumis pada halaman 272 novel Sahara, mengaku setelah kematian si Cambang, teman berdebatnya.

3. Kagum-Tertarik

Tak perlu disebutkan betapa kita, laki-laki, begitu mengagumi keindahan fisik wanita. Itu adalah hal yang sangat normal. Namun bila dilihat dari kacamata biologis, kagum terhadap fisik wanita merupakan bentuk ketertarikan seksual. Bahkan sebuah penelitian mengatakan bahwa alasan pria selalu melirik wanita yang langsing serta berpayudara dan berpinggul besar adalah karena secara biologis menganggap wanita yang seperti itu akan dengan mudah memberikan keturunan. Lalu bagaimana bila kita mengagumi fisik laki-laki lain?

Pendapat yang tertanam di orang banyak adalah apabila mengagumi fisik laki-laki lain, katakanlah otot dada dan perut yang menonjol serta ketampanan, laki-laki tersebut dianggap menyimpang secara seksual. Mereka menyebut kaum seperti itu dengan istilah gay atau homo. Ini merupakan paradigma yang berbahaya karena bisa berdampak pada remaja yang belum paham.

Mengagumi fisik laki-laki lain tidak bisa disamakan dengan kacamata biologis seperti laki-laki mengagumi fisik seorang wanita. Mengagumi fisik laki-laki lain juga merupakan hal yang normal karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan. Bisa dianalogikan dengan rasa kagum dan tertarik kita pada hewan-hewan yang berwajah lucu. Tak bisa diartikan bahwa kita memiliki ketertarikan seksual terhadap hewan tersebut.

Remaja merupakan masa ketika mulai muncul perasaan-perasaan baru. Kadangkala mereka tidak tahu perasaan apa yang sedang mereka alami. Bahkan mereka belum bisa mengakui bahwa mereka jatuh cinta karena baru pertama kali merasakan cinta. Seperti yang saya bilang di awal, dengan kadar kedewasaan mereka yang masih kurang, mereka belum dapat membedakan satu hal dengan hal lain yang terlihat sama.

Katakanlah apabila ada remaja laki-laki yang mengagumi fisik teman laki-lakinya. Ia akan bingung dengan perasaan yang dialaminya tersebut. Dengan masalah komunikasi di dalam mayoritas keluarga Indonesia yang cenderung tertutup, remaja tersebut tidak memiliki tempat bertanya. Bertanya kepada temannya pun berisiko tinggi karena di lingkungannya berkembang paradigma tersebut, bahwa laki-laki yang mengagumi fisik laki-laki lain termasuk dalam pria yang suka sesama jenis. Akhirnya ia tak pernah mengerti dengan perasaan kagumnya tersebut dan menyimpulkan sendiri bahwa perasaan yang ia alami merupakan cinta kepada sejenis seperti paradigma yang beredar di lingkungannya. Hanya karena ia tak bisa membedakan bahwa kekaguman tersebut normal, akhirnya ia terjerumus pada paradigma dan simpulan sendiri dan menjadi kaum penyuka sesama jenis betulan.

Pesan saya kepada remaja laki-laki yang membaca postingan ini, saya tekankan sekali lagi bahwa kagum terhadap fisik teman laki-laki merupakan hal yang sangat normal, bukan pertanda penyimpangan seksual. Memuji kelebihan fisiknya secara langsung juga seharusnya tak jadi masalah. 

Saya yakin semakin dewasa, semakin banyak nuansa yang akan saya temukan atau rasakan, meskipun sekarang hal-hal tersebut terlihat sama. Mungkin teman-teman pernah merasakan nuansa lain dan bisa membagikan ceritanya di kolom komentar. Agar kita semakin dewasa, agar hati kita menjadi lebih awas terhadap nuansa sehingga apa yang kita lakukan bukan sebatas benar dan salah, tetapi juga mana yang terbaik untuk kita dan orang-orang di sekeliling kita.

Selasa, 05 Februari 2013

Bohlam dan Kecelakaan

Lokasinya berada dekat sebuah warung pempek. Bangunan sederhana itu tak menjorok dari jalan. Bertemu dengan aspal seakan menyuruh pejalan kaki untuk bersenggolan dengan kendaraan. Malam itu hujan. Jalan licin. Jarak pandang pendek karena tetes-tetes hujan memblokade cahaya. Jalan hanya dua jalur, masing-masing selajur. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju seperti pemangsa, sedikit berbelok mengambil jalur saya menghindari sesuatu di sisi kirinya, tanpa memelan dan menyalakan lampu sen. Saya membawa motor dengan kecepatan biasa, tak bisa dikatakan sepelan bersepeda juga, menepi ke kiri, tanpa memelankan laju karena tak ada halangan. Lampu sorot jauh mobil tersebut membutakan saya. Sekeliling jadi gelap. Lantas setelah bemper depannya lewat, sesosok orang muncul di depan saya, berjalan di aspal menuju warung pempek itu. Sontak saya menarik rem. Terlambat. 

Jalan licin. Motor saya terbanting ke ke kanan. Jok yang terkunci sampai terbuka paksa. Jaket hujan di dalamnya terhempas ke jalan. Spion kiri saya tertabrak. Beberapa milimeter di belakangnya kepala saya mendongak. Terpampang di depan mata badan mobil tersebut melaju. Badan tak bisa berkilat. Hanya pasrah diarahkan gaya reaksi. Maju sedikit saya mati. Syukurlah mobil tersebut lewat begitu saja. Saya masih bisa bangkit. Tiga luka mungil muncul di tangan kanan. Orang yang saya tabrak meringis. Sakit di bagian betis, tangisnya. Syukurlah tak ada darah. Ia meronta pada penjaga warung pempek tersebut, yang belakangan saya tahu merupakan keluarganya.

Saya meminggirkan motor. Tak bisa nyala. Orang-orang menggotong anak itu ke gang kecil di balik warung pempek itu. Beberapa orang bertanya siapa penabraknya, saya langsung mengaku. Mereka meminta penjelasan. Saya terangkan apa adanya. Yang ditakuti hanya saya akan dihakimi seperti anggapan saya terhadap kelas masyarakat seperti mereka. Namun, keberadaan saya di sana, saya yang menceritakan segalanya dan menunjukkan itikad baik untuk bertanggung jawab meredakan emosi mereka. Namanya Yati, korban saya itu, sepertinya masih SMA. Ia  langsung dibawa ke klinik dekat situ. Syukur tak ada apa-apa. Hanya harus dibawa ke tukang urut. Saya membayar dengan perasaan lega.

Mau tak mau saya menelepon orang rumah. Sebelumnya keluarga korban pun bertanya saya tinggal di mana dan kaget karena saya bertetangga. Saat saya bilang nama bapak, mereka mengaku kenal dengan beliau. Lalu bapak muncul di klinik meskipun tak saya minta. Ikut menemui keluarga mereka dan turut meminta maaf. Saya juga minta maaf sekali lagi pada korbannya dan pada keluarganya sebelum pulang. Motor hanya starternya yang tak bisa menyala, tetapi mesinnya masih berfungsi. Pulanglah saya. Makan, mandi, salat, dan sempat menulis setoran ke birokreasi. Berusaha seperti tak ada apa-apa. Setelah itu rencananya langsung tidur, tetapi ternyata adrenalin saya masih tersisa. Jam dua pun mata masih terjaga.

Selama itu saya terbayang-bayangi kronologis peristiwa tersebut.

Siangnya saya menyempatkan diri untuk membuka blog-blog peserta #7HariMenulis, setidaknya teman-teman pemrakarsa. Saya tertambat pada tulisan Galih Rakasiwi yang berjudul “Jakarta Motor City”. Isinya tentang kendaraan-kendaraan yang menyebalkan di Jakarta dan menganalogikan kendaraan tersebut sebagai halangan yang ditemui di jalan bagi pepsiman, kita, yang berusaha mencapai tujuan. Di antara pilihan-pilihan Galih, saya memberikan satu jenis kendaraan yang menyebalkan. Yakni motor, atau bisa kendaraan lain, yang tak menyalakan lampu atau lampunya pakai LED yang menyilaukan sampai membuat kita yang melihatnya buta sesaat.

Pulangnya saya datang ke kediaman pacar karena dia menitip barang di saya dan minta diantarkan. Setelah makan malam bersama, yang kami habiskan sambil menatap hujan yang menderas, saya pamit pulang setelah hujan reda. Tak ingin berlama-lama karena hendak menulis setoran. Saya juga merasa mood kurang bagus saat itu. Saya menyalakan mesin dan mengegas jalan, motor saya terpeleset di tempat, di pinggir aspal yang mengembung, dengan posisi saya masih berdiri. Pertama kalinya seperti itu di depannya. Pacar mendekat dan menyuruh hati-hati. Saya mengiyakan.

Di tengah perjalanan, hujan rintik, sedikit lebih deras daripada gerimis. Saya bukan tipe pengemudi yang suka mengebut, kecuali untuk mengejar absen yang hampir TL2, jadi melaju santai saja. Semakin dekat rumah saya semakin tak sabar ingin cepat sampai. Jaket dan celana sudah basah. Dari awal terlalu malas memakai jas hujan. Tikungan demi tikungan saya lewati. Lalu saya melihat mobil yang melaju dengan lampu jauh yang sangat menyilaukan. Yang melintas di pikiran saya hanya tulisan Galih tersebut dan komentar saya yang menyatakan betapa menyebalkannya kendaraan seperti itu.

Lalu terlihat warung pempek. Peristiwa itu terjadi.

Saat menceritakan kronologisnya pada keluarga korban, saya menceritakannya dengan sangat runut dan tertata. Tidak seperti kebiasaan saya yang kalau bercerita suka melompat-lompat alurnya dengan jargon “eh, sebelum itu ada satu kejadian lagi”. Mereka pun memahami cerita saya dengan seperti yang saya inginkan.

Light Bulb Phenomenon, itulah yang saya alami. LBP  merupakan sebuah fenomena neurosains, aktivitas otak yang membuat kita dapat mengingat dengan jelas runut kejadian dan lingkungan tempat terjadi kejadian tersebut untuk kejadian yang mengejutkan dan melibatkan emosi yang luar biasa.

Light Bulb Phenomenon dalam kejadian yang mainstream dan dangkal biasa terjadi pada seseorang yang baru diputusi oleh kekasihnya. Ketika bercerita ke teman-temannya, pasti ia dapat menjelaskannya dengan sangat detail. Bahkan sampai waktu kejadian dan pakaian yang dikenakan. Bahkan yang diutarakan bisa kronologis sejak berbulan-bulan lalu. Biasanya orang tersebut mendadak sadar bahwa ada tanda-tanda dari dulu bahwa pacarnya akan memutuskannya. Ia pun menyebut tanda-tanda tersebut dengan istilah firasat.

Begitu pula saya. Membaca tulisan tentang halangan di jalan. Mengomentarinya dengan kriteria kendaraan yang menurut saya menyebalkan. Terpeleset saat mau pulang ke rumah. Lalu kemudian muncul mobil itu. Seperti sebuah firasat bahwa kecelakaan tersebut akan terjadi. Di sisi lain, penganut teori sinkronisasi akan berpikir kejadian-kejadian yang saya alami tersebut yang menyebabkan kejadian itu sehingga mereka percaya firasat. Di sisi lain lagi, disangkutpautkan dengan hal-hal religius misalnya, ini mungkin teguran untuk saya yang beberapa hari ini nakal kepada-Nya, atau kata pacar saya, mungkin memang harus ada uang yang dikeluarkan untuk sedekah-sedekah yang tidak saya bayarkan akhir-akhir ini.

Saya tak mau ambil pusing tentang firasat atau teguran. Hari ini saya absen, tetapi tak di kantor untuk mengurus motor di bengkel. Motor sudah sehat seperti sediakala dan besok saya akan bekerja seperti biasa. Seakan tak ada apa-apa.

Senin, 04 Februari 2013

Aku Berbicara, Maka Aku Menulis

Empat hari berturut-turut saya menulis fiksi. Saya menulisnya rata-rata dalam kurun waktu dua jam, mungkin lebih tiga puluh atau empat puluh detik. Menuntaskannya dalam sekali tulis, apa yang terlintas di pikiran langsung dituangkan dalam kata-kata. Seselesainya pun segera dipublikasi, tanpa ditulis ulang, padahal seorang ahli yang bernama, ah saya memang payah dalam meangingat nama penemu teori dan tak sempat mencari di google, mengatakan bahwa sebagian besar first draft adalah sampah. Tulisan awal harus dipangkas atau diganti bungkus bahasanya sehingga lebih menarik. Saya hendak menulis buah pikiran, tetapi rasanya macet sekali.

Apa pasal? Saya berintrospeksi.

Semasa kuliah saya banyak omong sekali. Bahkan yang remeh temeh saya komentari. Saya memerhatikan sekeliling saya, dari perilaku teman yang mengesalkan sampai hal-hal kecil seperti kucing yang selalu berjalan di pinggir got meskipun jalan lebar. Semua hal dikomentari baik hanya dalam pikiran maupun dilontarkan melalui lisan, kecuali untuk beberapa hal yang kulit-kulit terluarnya pun tak saya ketahui.

Sebelum beralih ke blogspot, saya mempunyai rumah di multiply sejak tahun 2010. Selama dua tahun, postingan saya sudah sampai dua ratusan, baik yang berisi pikiran remeh-temeh maupun tulisan yang butuh pendalaman pikiran sampai tatanan kalimat pun saya perhatikan. Bahkan waktu itu saya suka menulis juga di notes facebook perihal pendapat saya terhadap suatu peristiwa atau menceritakan pengalaman saya saja. Banyak sekali komentar yang berdatangan, sampai ratusan. Seingat saya, setelah itu banyak teman-teman facebook yang rajin menulis notes juga dan tulisan mereka menarik, seakan saya menjadi pemrakarsa, padahal belum tentu juga. Intinya saya merasa tahu banyak hal sehingga banyak juga hal yang saya bicarakan dan saya bisa mempertanggungjawabkannya kebenarannya.

Hasilnya? Saya berhasil menulis dua buku fiksi. Jangan ditanya sudah laku berapa, bukan itu tujuan saya, tetapi kalau memang banyak yang beli pasti akan saya unjukkan. Maklumi saja, namanya juga manusia.

Setelah lulus kuliah, keadaan berubah. Saya berada dalam kondisi yang tak aman. Orang tua bersikap sudah melepaskan, sedangkan saya belum punya pegangan. Saya merasa dunia tidak lagi di dalam genggaman. Banyak hal-hal yang berada di luar kuasa saya. Saya bahkan tak bisa menentukan takdir sendiri. Yang ada hanya ketetapan, peraturan, serta keputusan dari Yang Di Atas dan atasan. Awalnya saya berkomentar, tetapi lama-lama hal yang saya komentari itu-itu saja dan komentar saya pun tak berguna, tak akan mengubah keadaan.

Saya lebih sibuk mengurusi diri sendiri, memenuhi kebutuhan psikologis yang terganggu karena berada dalam kondisi yang tak nyaman. Akhirnya saya tak sempat menoleh ke lingkungan. Saya lebih banyak diam. Komentar saya simpan. Biarlah saya jadi pendengar. Karena saya terlalu legowo, karena saya terlalu merasa memang begini seharusnya dan saya hanya harus bersabar. Tak ada lagi keinginan untuk mengubah keadaan, toh memang sudah terbiasa dihalang-halang. Ini membuat saya bisu beberapa lama. Di sekeliling saya pun terlalu banyak orang yang berbicara. Saya malas kalau omong saya hanya akan menambah suara tak berguna. Akhirnya tak ada tulisan nonfiksi yang bisa saya banggakan dalam masa-masa ini.

Memang tak mungkin menulis bila tak membaca. Menulis adalah buah pikiran dan buah-buah itu mengambil nutrisi dari tulisan-tulisan yang kita baca. Pun tak ada istilah bicara dulu tanpa berpikir karena lisan adalah hasil pikiran yang melontar. Semuanya hasil pikiran. Seperti kata Descartes, “aku berpikir, maka aku ada” sedangkan bentuk berpikir adalah berbicara dan menulis (yang merupakan wujud berbicara dalam huruf-huruf). Oleh karena itu, filosofi tadi bisa diturunkan menjadi “Aku berbicara, maka aku ada” dan “aku menulis, maka aku ada”. Mau lancar menulis ya banyak membaca, untuk memperkaya nutrisi, dan juga banyak berbicara. Komentari semua hal. Latih otak untuk berpikir. Banyaklah bercerita secara lisan. Hal remeh-temeh sekali pun. Itu akan melatih pikiran kita untuk merunutkan kronologis. Itu sangat bagus ketika diaplikasikan dalam menulis baik fiksi maupun nonfiksi. Biarlah orang mau menanggapi atau tidak, toh tujuan kita bukan untuk menghibur mereka, melainkan untuk meningkatkan kualitas diri sendiri.

Ayo tengok orang di sampingmu dan berceritalah tentang semuanya. Cerita tentang kisahmu menggosok gigi pagi ini dan buatlah ia tertarik. Berhenti sejenak membacanya, berhenti sejenak mendengarnya. Berbicaralah dan menulislah. Beberapa penulis terkenal pun sependapat (saya bukan penulis terkenal, tetapi ikut sepakat) bahwa tulisan yang baik adalah tulisan yang membuat pembaca merasa penulis sedang berbicara kepada mereka. Jadi semakin terbukti bahwa salah satu cara agar dapat menulis dengan lancar adalah rajin berbicara.


Minggu, 03 Februari 2013

Mereka Bilang Aku Setia Sampai Mati


Aku terkejut ketika seorang manusia laki-laki, aku dengar namanya Rio, menyambar suamiku dari sangkar kami. Suamiku memekik-mekik, tetapi cengkraman lelaki itu tak goyah. Sehelai bulu suamiku rontok ke lantai. Aku berkukur ketakutan. Suamiku berkukur minta tolong. Kuberanikan diri mencakar-cakar tangan lelaki itu. Genggamannya sempat longgar, tetapi ia tetap berhasil menculik suamiku. Kemudian aku melongok ke luar. Ia juga menggamitku. Kami dimasukkan ke dalam sangkar baru. Lalu ia membawa kami entah ke mana.

Aku pernah dengar tentang lapangan Sajana ini. Teman-temanku sering berkumpul di satu-satunya pohon di sana, tetapi hanya sementara karena kebanyakan ingin punya tempat tinggal sendiri, bukan di rumah susun. Maka saat aku melihat satu-satunya pohon di sebuah lapangan, aku langsung tahu bahwa ini adalah lapangan Sajana. Laki-laki itu menggantung sangkar kami di sini. Kemudian tangannya masuk, menarikku keluar. Mau diapakan lagi aku ini? Ternyata ia hanya memasangkan pita lantas meninggalkan kami bermalam di sini. Kami bertengger menatap langit. Suamiku merentangkan sayap kanannya dan menyusupkanku di situ. Ia berkukur. Aku bertanya kira-kira kenapa kami ditinggalkan di tempat seperti ini. Suamiku hanya menjawab semua akan baik-baik saja. Ia berkukur lagi. Aku merasakan kehangatan dekapannya, tetapi aku tetap tak bisa dibuat tenang. Besoknya kami tahu kami dijadikan alat untuk prosesi pernikahan, yang caranya tak pernah kulihat sebelumnya. Mereka melepaskan kami ke angkasa.

Di udara, tiba-tiba suamiku berkata. “Kesetiaan kaum kita begitu terkenal sampai dijadikan simbol kesetiaan oleh manusia yang ingin berpasangan.”

Kami terbang begitu jauh sampai masuk ke kebun karet. Di sana kami berhenti dan suamiku memutuskan bahwa kami akan tinggal di situ. Ia membagi tugas. Ia mencari ranting-ranting kecil, aku yang menyusunnya jadi sarang. Ia begitu bersemangat, tetapi aku menjawab dengan iya saja. Pendek. Datar. Aku membangun sarang seadanya. Saat ia membagi larva yang ia dapatkan, tiba-tiba aku merasa kenyang dan tak mau makan. Ia mengusap-usapkan lehernya ke leherku sebelum tidur, aku diam saja, kemudian ia terlelap dengan senyum. Aku masih terjaga. Di tengah kesepian malam, aku menangis. Aku tak tahu perasaan apa yang sedang menjangkitiku. Aku hanya bisa berkukur pilu.

Sungguh aku benar-benar bingung. Ia pun mulai bertanya-tanya kenapa dan aku hanya bisa menjawab tidak apa-apa.

“Apa kita masih perlu mengatakan aku cinta padamu?” rayunya. “Sedangkan kita tidak perlu apa-apa karena setia sudah jadi naluri kita. Meskipun begitu, aku tetap ingin bilang aku cinta padamu dan aku yakin betul kau juga cinta padaku.”

Aku hanya menganga, cara tersenyum untuk makhluk seperti kami. Berhari-hari kami melakukan hal yang sama. Pagi buta ia mencari cacing untuk dimakan berdua. Ia selalu berkukur merdu dan bersyair, tetapi aku tak terbuai dibuatnya. Ia heran ketika aku menolak tawarannya untuk bertelur. Lalu ia tersenyum karena mengira bahwa aku menolak karena tak ingin perhatianku kepadanya terbagi ke anak-anak dulu, hanya karena aku cinta mati padanya. Karena kami adalah makhluk paling setia. Begitu katanya.

Setelah sebulan tinggal hanya berdua di daerah situ datanglah sepasang merpati putih lain. Aku bersorak senang. Mereka kuajak berkenalan duluan. Aku perkenalkan dengan daerah sekitar situ. Sampai sang betina akrab denganku dan aku bisa bercerita semua kepadanya, terutama perasaan yang telah menggangguku sejak sekian lama itu. Ia mendengarkan dengan saksama.

“Mungkin aku sudah tak sayang lagi padanya,” kataku setelah bercerita.

“Maksudmu, kau sudah tak sayang,” katanya. “Tetapi jadi cinta mati?”

“Bukan seperti itu,” aku mendongak dulu menahan air mata. “Seperti aku tak punya perasaan apa-apa lagi padanya. Seperti aku sudah tak peduli lagi dengannya.”

“Itu tak mungkin, Sayang,” kata temanku dengan begitu yakin sampai ia merangkulku. “Kita ini makhluk yang setia. Tak mungkin cinta yang sudah ditambatkan ke seekor merpati jantan bisa hilang begitu saja. Kau perlu mati untuk melakukannya.”

“Mungkin kau ada benarnya juga,” kataku tak puas. Aku pamit pulang.

Aku sedang merapikan ranting dan membersihkannya dari remahan kayu dan daun ketika mendengar suara kukur yang begitu syahdu. Puisi-puisi indah yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku melompat-lompat dan menoleh mencari sumber suara tersebut, lalu kutemukan dirinya bertengger di puncak pohon karet. Sayapnya mengembang begitu gagah. Bulu coklatnya seperti emas yang berkilauan dihujani cahaya matahari. Begitu tampan. Tembolokku berdenyut. Pundi-pundi udaraku kembang kempis. Aku tahu perasaan itu. Kemudian ia menoleh ke arahku, aku langsung buang muka. Saat aku melirik ke arahnya lagi, ia sudah di depanku.

“Halo, Cantik,” katanya. Kemudian ia merayu-rayuku. Aku begitu terbuai sampai membiarkannya mengelus lehernya ke leherku. Aku jatuh cinta.

“Bawa aku pergi dari sini,” kataku. “Cepatlah.”

Aku tak kembali selama sebulan. Sampai aku menelurkan tiga butir cintaku. Aku merawat mereka dengan baik bersama suami baruku. Bergantian mengerami dan mencari makan sampai anak-anakku menetas dengan lucunya. Juga bergantian meneteskan susu tembolok dari paruh kami. Aku merasa bahagia. Sampai aku tak perlu pusing merahasiakan masa laluku karena aku benar-benar sudah lupa. Hingga suatu hari, sahabatku dan suaminya sampai ke wilayah kami.

“Terima kasih, Tuhan,” katanya tiba-tiba bertamu. Kukurannya heboh sekali. “Akhirnya suamimu menemukanmu juga.”

Aku langsung menariknya ke tempat yang tak terlihat suamiku. Aku harus mengatakan yang sebenarnya, tetapi rasanya begitu sulit. Suaraku tertahan di tembolok. Aku terpejam dan beberapa kali mengembuskan napas. “Dia bukan suamiku yang dulu,” kataku cepat.

“Yah, dia terlihat berbeda,” katanya. “Dan tampak semakin cinta padamu. Begitu kan? Dulu kan bulu suamimu putih, apa rahasianya agar bulunya jadi coklat begitu? Makan daun kering?”

“Bukan begitu,” kataku. “Saat aku bersuami, aku menjalin cinta bersama merpati jantan lain. Apa itu istilahnya? Sepertinya tak ada kata yang tepat untuk itu ya? Jangan-jangan karena aku adalah merpati pertama yang melakukannya? Ya, Tuhan, aku merasa sangat bersalah.”

“Aku tak mengerti maksudmu,” katanya.

“Lupakan saja,” kataku. “Apa yang terjadi saat aku pergi?”

“Suara kukur suamimu melemah,” kataku. “Kemudian ia sering mengeluh pundi-pundi udaranya sakit. Temboloknya juga bengkak. Ia mengurung diri saja di sangkar. Lupa makan. Sampai suamiku membagi cacing untuknya. Kami sudah mengatakan relakan saja kematianmu, karena itu bisa saja itu tanda-tanda kalau pasangan kita sudah mati, tetapi ia bersikukuh kalau kau masih hidup lalu ia terbang jauh, dengan pincang, untuk mencarimu dan tak pernah terlihat lagi.”

“Ia tak pernah terlihat lagi?” kataku.

“Makanya aku sangat bersyukur ternyata suamimu baik-baik saja dan kalian kembali bersama,” katanya.

Aku terdiam di situ. Pundi-pundi udaraku mendadak sakit. Aku mengepakkan sayap, tetapi tak dapat terbang. Rasanya berat sekali tubuh ini. Tembolokku membengkak. Aku muntah beberapa kali. Sahabatku panik, berkukur memanggil suamiku. Ia terbang dengan cemasnya. Aku menatapnya dengan pandangan yang samar-samar. Penglihatanku memburam. Yang kuingat sehelai buluku rontok dan terjatuh, berayun-ayun di udara, terbawa angin sebentar, lalu terjun lagi ke bumi, mendarat di daun kering, tepat saat aku mengucapkan maaf. Lalu gelap.