Sabtu, 07 September 2013

Seteguk Bir dan Susu Kedelai



Sebuah kicauan sumbang tentang tulisan Gita berjudul Als Ik Eens juncto Sedikit Tanggapan Buat Heru.


Git.
Kudengar kau mengeluh di sana, di kota yang kausiratkan bukan salah satu kota wisata, yang kausiratkan tak memiliki gunung yang rimbun dan pantai yang menawarkan senja. Yang kausiratkan lebih mirip tempat pembuangan seperti pulau Buru pada era orde baru. Yang kaubilang tak mungkin ada yang iri dengan kota penempatanmu itu. Kau pun berandai-andai ditempatkan di Jakarta.

Aku penempatan di Jakarta. Aku masih menghuni istana orang tuaku dan bernapas dengan kasih sayang mereka. Setiap hari aku bertemu dengan keluargaku, mendengar kecerewetan ibuku yang begitu perhatian menyuruhku segera makan malam, mendengar tawa ria adikku yang genit mencoba pakaian barunya hadiah dariku. Juga setidaknya sekali dalam seminggu aku bertemu dengan kekasihku, berbagi cerita dan kebahagiaan. Aku menjemput dan mengajaknya duduk-duduk di taman. Itu membuatnya senang. Dia mentraktirku jajanan yang lalu lalang. Itu membikinku riang. Kami berdua saling memberi sepenuh kemampuan, bukan hanya pengorbanan sepihak seperti membeli tiket pesawat termahal untuk menemui seseorang dalam beberapa jam di Jakarta, seperti yang kaulakukan, seperti yang selalu bisa kausombongkan itu. Mengetahui ini, kau tidak sampai berandai-andai jadi diriku kan?

Git,
Kudengar yang kaukeluhkan adalah kelakuan mereka—yang penempatan di Jakarta, bisa saja termasuk aku—yang katamu kesombongannya melebihi Firaun sehabis menang undian siapa-yang-menjadi-raja di alam sebelumnya. Entahlah, kurasa mereka memang berhak merasa menang. Bermusabab, semasa pendidikan dulu mereka menahan berahi untuk mengingari dunia, demi sebercak ilmu setiap harinya, untuk menggenggam hasil tinggi, sampai menggadaikan waktunya bersuka ria, sebagai agunan untuk masa depan yang lebih menentramkan. Untuk dapat bisa menginjak rumput di pekarangan rumah sendiri setiap pulang kerja. Dan akhirnya mereka berhasil menang, bukan atas siapa-siapa, melainkan atas diri mereka sendiri saja.

Bukankah kita berdua, juga teman-teman sekorsa lain, dari awal sudah tahu bahwa kota penempatan adalah imbas dari apa yang kita lakukan semasa kuliah dulu? Sebagaimana surga untuk balasan pahala dan neraka untuk balasan dosa, kalau kau masih percaya keduanya. Kurasa kau bisa menilai sendiri bagaimana kau menghidupkan masa-masa kuliahmu. Maka ketika kau menentukan gaya hidup, saat itulah kau memilih konsekuensimu. Pun bila terlanjur hanyut ke sana, kau bisa memanfaatkan setiap jumput kesempatan yang bisa saja tak pernah ada yang kedua, seperti diklat kemarin, atau kau masih mengambil konsekuensi yang sama?

Lelaki boleh saja menangisi keadaan, wahai temanku Gita, tetapi nista baginya untuk mengeluhkan konsekuensi yang telah dicakupnya. Mengeluh hanyalah hak lelaki yang telah berjuang mati-matian mengeluarkan dirinya sendiri dari ketidaknyamanan. Itu pun sejenak lalu, seperti bernapas ketika setengah menenggak jamu.

Git,
Aku pernah mencuri dengar kau mengutuk FPI yang bersikeras melarang warung-warung kecil untuk berjualan ketika bulan puasa. Mereka pikir itu perbuatan intoleran kepada orang-orang yang sedang beribadah menahan lapar dan dahaganya. Kaubilang, bukankah seharusnya kaum muslim yang berpuasa pun tahan bila orang-orang tersebut makan di hadapannya? Kenapa mereka yang tidak berpuasa harus ikut berpuasa? Entah mengapa ketika kau menganggap mereka yang penempatan di Jakarta memamerkan kesenangan adalah intoleransi kepada teman-teman sepertimu yang tereban di antah berantah, rasanya aku menangkap ada setadah iras antara fikrahmu itu dan adicita orang-orang yang mengaku sebagai pembela agama islam tersebut. Kau hanya sedang puasa, Gita, hanya saja lebih lama dari biasanya dan tak tahu kapan bisa berbuka.

Git,
Pernahkah kau mendengar ceritaku tentang Topeng Malaikat? Kuberitahu kau, Git, terkadang orang memajang kebahagiaannya di tempat umum hanya untuk menutupi kesulitannya. Mereka terus membungkusnya dengan senyuman yang dipaksakan sampai yang tampak dari luar hanyalah kesempurnaan. Mereka tampak bersyukur seperti malaikat. Namun itu hanyalah topeng belaka, karena di hati masih tebersit keluhan. Atau mungkin sebaiknya aku membuka topeng malaikatku? Tapi tidak di sini. Lebih baik kita duduk mengelilingi meja bundar. Kau meneguk bir dan mengisap rokokmu; aku meneguk susu kedelai dan mengunyah astorku. Bukan untuk merebutkan posisi siapa yang paling menderita di antara kita berdua, tetapi kita memang harus menyempatkan diri untuk menertawai nasib diri sendiri dan saling menertawakan. Maka dari itu, kadang mengeluh jadi pahala bagi orang yang terlihat sempurna itu. Karena itu membuat orang yang tersilaukan matanya menjadi tahu, bahwa tidak semenyenangkan itu jadinya dan bersyukur dengan keadaan diri sendiri. Maka, aku berterima kasih padamu, yang telah mengeluh dan membuatku semakin mensyukuri segala nikmat yang diamanahkan kepadaku, yang justru membuat Tuhanku menambahkan nikmatnya lagi.

Git,
Kalau kau punya waktu senggang, bacalah esai God, Suicide, and the Meaning of Life dari Mark Conard, seorang filsuf Amerika. Dia menggunakan cerita film Shadows and Fog milik Woody Allen sebagai alat bantu. Dia mengatakan bahwa, "Kita butuh distraction, kita butuh ilusi dan penipuan-diri, untuk menghindarkan kita terhadap "kenyataan menyakitkan dari hidup". Maka dari itu, untuk menghindarkan kau dari mengeluh, kau harus punya pengalih perhatian, kawan. Kutahu kau pandai menulis. Selain itu, kau juga pernah memamerkan dirimu yang pernah ditawari sebuah penerbit untuk membukukan tulisan-tulisanmu agar semakin banyak orang yang membaca. Kenapa tak kaumanfaatkan saja itu? Kau bisa tenggelam di untaian-untaian kata yang kausulam, ditemani suara jangkrik malam hari, diterangi bintang yang sinarnya laksana ilham di ujung jari. Waktumu kan tak habis terbakar jadi asap knalpot. Tenagamu juga tak habis untuk menyangga motor di persimpangan. Dan kuyakin besoknya tak pernah terpikir lagi olehmu keluhan-keluhan bodoh itu.

Aku takut kau jadi terbiasa mengeluh, kawan. Aku takut kau berakhir menjadi seperti apa yang dikatakan oleh sang penyair berkebangsaan Inggris bernama Samuel Johnson itu. Ucapannya begitu menyeramkan. Ia berujar, "Man alone is born crying, lives complaining, and dies disappointed."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar