Rabu, 15 Agustus 2012

Punggah Kenangan

Xenophobia--ketakutan akan hal asing--pernah menjadikan saya pribadi statis. Saya lebih suka di rumah. Kalau pun harus keluar rumah, saya menghindari tempat ramai seperti mal karena di sana harus melewati banyak orang asing. Setiap kali menerobos keramaian, saya merasa risih, merasa dilihat orang-orang, padahal mata mereka mengarah ke tempat lain. Sehabis upacara bendera  di sekolah, orang-orang berhamburan menuju kelas dan saya berada di tengah mereka, mata mendadak lelah. Terlalu banyak orang yang tak saya kenal. Mereka bergerak acak. Fokus saya berantakan. Saya pusing.

Saya lebih memilih menjaga dan meningkatkan kualitas pertemanan dengan orang yang sudah lama saya ketahui ketimbang berkenalan dengan orang baru. Bahkan teman sekelas yang sering saya ajak berbicara paling banyak hanya lima dari empat puluh. Namun, tak selamanya teman akrab dekat selamanya secara fisik. Mereka datang dan pergi. Saya pernah menyendiri setelah mereka pergi, interaksi dengan sekitar hanya basa-basi. Saya tetap makhluk sosial sehingga keadaan menumbuhkan kenyamanan dengan teman baru. Kemudian mereka menjadi teman akrab saya. Bahkan yang lama sedikit terlupakan. Namun, ada yang lebih buruk daripada bertemu orang baru.

Saya harus pindah ke lingkungan lain. Itu selalu terjadi ketika rasa nyaman dengan sahabat baru sudah tak tergantikan, yakni saat jalan hidup kami sampai ke persimpangan. Kadang mereka diam di tempat, sedangkan saya yang berbelok atau kami sama-sama berbelok. Bertemu dengan orang baru bisa saya atasi ketika lingkungan masih sama, tetapi ketika lingkungan berganti, saya kewalahan. Saya tak merokok, menyukai sepak bola, ataupun meminum  kopi sambil ngalor-ngidul seperti laki-laki kebanyakan sehingga faktor pemersatu saya dengan orang baru sedikit sekali. Saya suka berpikir lingkungan baru akan sulit menerima karena minat saya begitu berbeda dengan mereka.

Sudah banyak terbukti bahwa mengatasi ketakutan adalah membiasakan ketakutan itu sendiri. Semakin sering saya berada di tempat asing, semakin menciutlah Xenophobia saya. Dua tahun lalu saya bersama teman-teman pergi ke Bromo menggunakan kereta ekonomi. Di kereta saya memerhatikan orang-orang, menebak-nebak benak mereka, dan ketika sadar mereka tak memerhatikan saya, saya tenang. Di Bromo kami berkenalan dengan sesama turis lokal dan asing. Kami banyak mengobrol. Di situ saya belajar bahwa interaksi dengan orang baru bisa dengan cara selain berbasa-basi. Mereka bercerita saja seakan sudah lama mengenal kami. Alih-alih merasa tak peduli, saya mendengarkan mereka dan memberikan timbal balik agar mereka tak seperti sedang berbicara dengan tembok. Selain ke Bromo, kami juga mengunjungi beberapa kota seperti Mojokerto, Yogyakarta, Magelang, dan Kutoarjo. Saya menginap di rumah teman dan belajar mengakrabkan diri dengan keluarga mereka, yang cerita tentang mereka pun belum pernah saya dengar sebelumnya. Ketakutan saya akan hal asing melindap dari jiwa saya.

Kemudian rasa takut itu muncul lagi. Manajemen Multiply menyatakan akan mematikan layanan blognya per 1 Desember 2012. Blog tersebut sudah menjadi rumah kedua. Saya mengukir kisah di dindingnya agar semuanya tak dipudarkan waktu. Saya berkenalan dengan banyak orang, memahami jalan pikiran mereka, menerima segala keunikan mereka. Kami tak pernah bertemu, tetapi cerita-cerita kami saling mengikat. Saya mengontrak lebih dari dua tahun dan memang selama itu pula saya tak membayar sewanya. Sekarang pemiliknya berniat mendepak. Saya harus pindah sebelum diusir mentah-mentah.

Di sinilah saya bertandang sekarang, memulai segalanya lagi dari awal. Berkenalan lagi dengan banyak orang. Mereka semua asing, tetapi saya sudah terbiasa. Bukannya melupakan, tetapi terlalu banyak mengingat akan membuat saya pening. Saya memutuskan memunggah semua kenangan dari otak dan menyimpannya di hati saja. Saya juga tak ingin pindah, tetapi daripada bersedih karena semuanya berakhir, lebih baik tersenyum karena semuanya terjadi.