Senin, 12 November 2012

Mantra Antidepresi

Peralihan dari status mahasiswa menjadi status calon pegawai negeri sipil seperti yang kita, lulusan 2011, alami mencabut semua daya kita sebagai, yang katanya, agent of change. Kita sendiri bahkan tidak bisa mengubah nasib kita menjadi seperti yang kita mau, nasib di sini dalam arti karier kita di instansi ini. Sama sekali tak ada cara untuk menjadikan prosesnya lebih cepat. Kita hanya bisa menunggu, menopang dagu, mengertakkan jari-jari ke meja, memerhatikan jarum detik jam dinding yang rasanya berdetak terlalu lama, menanti seseorang membalik lembaran kalender ke halaman baru.

Setelah wisuda berembus isu bahwa kita harus mengikuti tes psikologi. Bila gagal, kita takkan menjadi pegawai instansi kita. Banyak tanggapan dan kekecewaan terhadap isu tersebut, ada yang marah-marah, ada yang berlapang dada dan menjalaninya dengan sepenuh hati. Karena kita diberi tahu bahwa setelah tes itu akan berlangsung pemberkasan dan kita akan mulai bekerja sebagai peserta magang per 1 Januari 2012, saya pun menjadi pihak yang berlapang dada dan menjalaninya dengan sepenuh hati.

Kita kembali diabaikan tanpa kabar, padahal saya sudah terlanjur keluar dari tempat magang di sebuah kantor konsultan pajak saya agar bisa magang di tempat yang seharusnya. Saya melamar lagi di tempat lain, kali itu di kantor akuntan publik. Sempat mengaudit perusahaan terbuka dan saya mendapatkan ilmu baru di sana. Tepat sebulan saya magang di sana, akhir Februari, kita diberi kejelasan bahwa kita akan magang per 1 Maret 2012.

Proses magang dikatakan akan berlangsung selama tujuh bulan: sebulan pertama masa orientasi, tiga bulan kedua on job training, tiga bulan terakhir diklat dasar, dan Oktober sudah penempatan definitif. Saya semangat sekali untuk menjalani empat bulan awal, menanti-nanti dimulainya diklat dan penempatan. Saya pikir teman-teman juga begitu, ternyata sayang sekali sejak Juli sampai sekarang kita masih dalam tahap on job training. Pemberkasan selesai Agustus akhir, kemudian tak ada kabar. Saya pun bertanya-tanya, apa selanjutnya? Sampai kapan kita magang? Saya pun jadi tak tenang. Kenapa saya bisa gelisah?


Pemberi harapan palsu—PHP—menjadi julukan kita untuk Pak Bos. Hal itu menjadikan kita sama saja seperti seorang wanita insecure yang berharap pada seorang lelaki mengenai kejelasan statusnya dan yang membuatnya bisa bertahan menjalani sebuah hubungan tanpa kejelasan seperti hanyalah janji-janji manis sang lelaki yang membuat wanita berkeyakinan bahwa setelah semua pengorbanan wanita selesai akan ada hadiah yang menunggunya.

Lalu saya sadar. Apakah konsep itu pula yang membuat seseorang yang religius menjadi tenang mendalami hidup?

Orang-orang yang religius meyakini bahwa ada surga dan neraka setelah kematian mereka. Hal ini membuat mereka selalu berbuat baik dengan janji akan diberi surga dan menghindari perbuatan tercela dengan ancaman dijebloskan ke dalam neraka. Itu sudah menjadi janji Tuhan. Selain itu, mereka percaya bahwa perbuatan baik kepada orang lain akan dibalas dengan perbuatan baik kepada mereka juga. Mereka bisa yakin akan bahwa Tuhan takkan ingkar pun karena mereka dijanjikan pula bahwa Tuhan tak pernah mengingkari janji. Pertanyaan tentang bagaimana bila janji tak ditepati seperti janji manusia tergantung pada keimanan masing-masing.

Dari hal itu saya menyimpulkan bahwa, semakin seseorang percaya pada janji yang diikrarkan untuknya sebagai hadiah pengorbanannya, semakin tenanglah ia menjalani hidup dan terus berkorban. Saya pun bisa menjawab pertanyaan sendiri mengapa saya bisa gelisah menjalani perpanjangan on job training ini adalah karena tak ada lagi janji manis. Palsu atau tidak janji itu, sakit hati atau tidak nantinya, sudah kodrat manusia bahwa saya tetap membutuhkan janji, sebuah mantra antidepresi.

---

NB: Neurosains mengatakan bahwa ketika ada janji, otak merespon dengan menembakkan dopamin ke bagian otak yang bernama reward center, dopamin itulah yang membuat kita termotivasi untuk berkorban melakukan hal-hal demi terpenuhinya janji tersebut, seakan janji tersebut akan terpenuhi dalam waktu dekat. Intinya, menurut neurosains, kita tidak kecanduan janji, tetapi kecanduan dopamin.
Credit to: Andreas Rossi Dewantara.

Minggu, 28 Oktober 2012

Butir-Butir Keinginan

Judul          : Lampu Hasrat
Pengarang   : Fauzi Atma
Penerbit      : Imajinusa (selfpublishing melalui nulisbuku.com)

Tahun terbit : 2012

Tebal buku   : 347 halaman untuk versi cetak dan 456 halaman untuk versi e-book.

Harga buku  : Rp67.000 untuk versi cetak dan e-book gratis. Belum termasuk ongkos kirim.

Perancang Sampul: Nurul Ashari @kbbostrike




Rasa kehilangan setiap orang, bila dikumpulkan, akan seperti butir-butir pasir di padang gurun. Bagaimana bila setiap orang yang merasa kehilangan menuntut semua kembali?

Alnord bersama Antonum dan Dardyl beserta orang tuanya, Ogwald dan Maureen, terpaksa pindah ke kerajaan Morgana, kerajaan terluas yang sebagian besar wilayahnya tertutup oleh gurun pasir. Sayang Alnord dan Dardyl tak bisa tinggal berdekatan. Mereka berpisah di awal perjalanan. Di sisi lain, untuk kali pertama, Alnord dan Antonum berkesempatan tinggal bersama, tetapi ternyata Antonum menitipkan Alnord pada kawannya, Namib. Antonum merasa Alnord akan banyak belajar dari Namib, seorang pedagang yang ucapannya sering menyakitkan. Alnord tak pernah betah di sana. Namib memperlakukannya seperti budak pasar.

Kekacauan pikiran dan perasaan Alnord mengajaknya kembali ke dunia mimpi buruknya. Tidak seperti sebelumnya, ia masuk ketika ia tertidur, kali ini ia masuk ke dunia gelap itu dalam keadaan tersadar. Di sana ia berkenalan dengan Noar, bocah biru yang mengetahui banyak hal tentang dunia itu. Alnord bertanya banyak padanya, termasuk cara keluar masuk dunia itu dengan sengaja. Suatu hari Noar memberi tahu Alnord soal Lampu Hasrat. Lampu Hasrat adalah mitos kerajaan Morgana, sebuah benda milik seorang pribumi bernama Aladdin dan dipakai untuk memanggil makhluk yang dapat mewujudkan permintaan orang yang menggosok Lampu Hasrat. Kemudian Noar menceritakan masa lalunya yang kelam, orang tuanya beserta seluruh masyarakat desanya diculik oleh sekumpulan orang, dan ia begitu ingin memiliki Lampu Hasrat untuk mengembalikan orang tuanya.

Di dunia nyata, ia berteman dengan Hazar, seorang pemuda pribumi yang senang petualangan. Ayahnya sendiri, Kamunra, seorang legenda kesenian pedang di kerajaan Morgana menjadi idolanya. Hazar mengajaknya menghadiri Badhushki, perhelatan adu pedang, yang ditonton Kamunra sebagai tamu istimewa. Kemudian sekelompok pasukan dari Kaum Elmendon menghancurkan stadion dan menculik orang-orang, sebagai sandera ancaman mereka yang menuntut pihak kerajaan untuk mengembalikan kristal kekuatan mereka.

Hazar berimpian menjadi legenda Badhushki seperti ayahnya. Namib memiliki tujuan yang tersimpan lama. Noar ingin mengembalikan orang tuanya. Kamunra memiliki rahasia. Antonum pun punya keinginan yang terkubur. Alnord tak terkecualikan. Ketika semua orang memiliki keinginan, ada desas-desus bahwa Lampu Hasrat bukan hanya sekadar mitos. Ia benar-benar ada dan sudah ditemukan. Kemudian semua orang berebut untuk mendapatkannya. Ketika satu per satu permintaan mulai terwujudkan dengan caranya masing-masing, terjadilah kekacauan di kerajaan Morgana yang mengancam keselamatan pemimpin kerajaan Morgana, Raja Sankhanum.

Setelah sukses dengan seri pertamanya, Kristal Aracruz, Serial Muslihat Hitam berlanjut dengan seri keduanya berjudul Lampu Hasrat ini. Terdapat perbedaan mencolok dari segi penulisannya. Lampu Hasrat terbaca lebih matang dalam artian lebih sedikit mengandung kesalahan dari segi penulisan dan penceritaan daripada buku pendahulunya, hal ini dipastikan karena penulisnya belajar banyak dari pengalamannya menulis buku pertama. Selain itu, bahasa sehari-hari yang menjadi gaya dialog dalam Kristal Aracruz berkurang dalam novel ini, hanya muncul bila Alnord berbicara dengan orang-orang yang berasal dari kerajaan Ablahar juga. Hal itu dikarenakan pada dasarnya bila kita berbicara dengan orang asing, bahasa yang digunakan akan sedikit lebih formal. Hal ini ditegaskan juga melalui dialog di halaman 362 versi e-book. “Cara ngomongmu beda banget,” kata Dardyl pada Alnord setelah mereka lama tak bertemu, sedangkan Alnord hanya bisa menjawab, Kau tahulah, penduduk di sini sangat puitis kata-katanya. Aku bahkan bisa membuatkanmu syair saat ini juga.

Beberapa bab dibuka dengan adegan yang melibatkan makhluk-makhluk imajinasi yang tinggal di kerajaan Morgana. Hal itu membuat pembaca meresap ke dalam dunia buatan sang penulis setiap kali mulai membaca setiap babnya. Ketegangan sudah ada sejak bab pertama dan terus meningkat dalam bab-bab selanjutnya, membuat pembaca takkan bisa meletakkan buku ini sampai habis.

Salah satu yang begitu unik dari unsur cerita dalam Lampu Hasrat adalah budaya bahasanya, selain budaya Badhushki yang sangat berpengaruh pada cerita. Terdapat beberapa peribahasa dan frasa buatan penulis yang dimodifikasi dari peribahasa dan frasa dalam bahasa kita sehari-hari dan disesuaikan dengan kebudayaan kerajaan Morgana. Salah satunya peribahasa yang tertulis di halaman 247 dalam versi e-book, “Tiadalah batu yang menggelinding jauh dari puncak gunung”, yang merupakan modifikasi dari peribahasa “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” karena di kerajaan Morgana terdapat banyak gunung batu, bukannya pohon dan buah.

Tak hanya itu, komitmen penulis untuk memfantasikan peristiwa sains dalam Serial Muslihat Hitam tetap konsisten dalam Lampu Hasrat. Setelah memfantasikan bencana danau pembunuh, danau Nyos, yang benar-benar terjadi di Kamerun pada tahun 1986 di novel sebelumnya, Kristal Aracruz, di novel ini penulis memfantasikan Jabal Magnet yang ada di semenanjung Arab dan lubang neraka yang ada di Turkmenistan  yang akan membuat kita terkagum-kagum dengan sains dan berimajinasi liar dalam waktu yang sama.

Plot cerita berbentuk kerucut, yakni banyak peristiwa yang terjadi di awal-awal dan terlihat tidak berhubungan satu sama lain, kemudian seiring pembaca membalik halaman, muncullah benang merah di antara peristiwa-peristiwa itu dan berakhir di satu titik dalam sebuah konklusi yang klimaks. Hal itu dapat membuat pembaca lelah menerka-nerka apa tujuan tokoh utama dalam beberapa bab awal, tetapi untungnya penulis selalu menyematkan hal-hal yang unik dan menarik di setiap babnya sehingga pembaca akan terus menikmati setiap narasinya dan baru tersadar setelah melahap habis satu buku. Sangat sangat disarankan untuk membaca terlebih dahulu Kristal Aracruz sebelum membaca buku ini karena plotnya begitu berhubungan, pembaca akan kesulitan mengerti konflik secara kesuluruhan. Selain itu bila buku ini yang terlebih dahulu dibaca sebelum buku pertamanya, kejutan dalam Kristal Aracruz akan sedikit memudar.

Bila Anda mengharapkan unsur drama keluarga dan persahabatan yang mengharukan, petualangan yang seru, misteri yang mencekam, sains terbalut fantasi yang mengagumkan, imajinasi liar, aksi yang menegangkan, serta kejutan di akhir cerita terkandung dalam satu novel, Lampu Hasrat akan mewujudkannya untuk Anda.

------

NB:
  1. Untuk pemesanan, silakan kirim email ke fauziatma@gmail.com dengan isian nama lengkap, alamat jelas, nomor HP, jumlah pesanan, dan pemesan mau testimoni penulis atau tidak karena memengaruhi harga ongkos kirim.
  2. Versi e-book dapat diunduh di sini.

Sekuntum Bunga Tidur

Judul: Kristal Aracruz
Penulis: Fauzi Atma
Tebal: 296 untuk versi cetak dan 385 halaman (versi ebook)
Genre: Fantasi
Penerbit: Imajinusa (melalui nulisbuku.com)
Tahun terbit: 2011

Mimpi menjadi hal misterius selama berabad-abad. Di satu sisi, mimpi dianggap sebagai proyeksi atas sesuatu yang dipikirkan manusia di alam bawah sadarnya. Menurut teori ini, mimpi dapat menyenangkan atau menakutkan tergantung pada keadaan psikologis seseorang sebelum ia tidur. Di sisi lain, mimpi dipercaya sebagai firasat atas kejadian yang akan berlangsung di masa depan. Timbullah penafsiran mimpi. Sosok yang muncul dalam mimpi mewakili setiap kejadian.

Begitu menariknya mimpi hingga dijadikan tema cerita dalam banyak film. Sebut saja film yang dikatakan sebagai salah satu film terumit yang pernah dibuat, Inception. Mimpi digambarkan sebagai dunia yang berlapis-lapis. Para tokoh di film tersebut dapat bermimpi dalam mimpi mereka hingga sekian lapisan. Freddy vs Jason, ketika sosok menakutkan dalam mimpi memengaruhi kehidupan seseorang dalam kehidupan nyata dan mereka harus berkelahi dalam mimpi sang pemeran utama. Contoh lain, Vanilla Sky, Insidious, dan masih banyak yang lain film mengenai mimpi.

Dapat dikatakan ide cerita tentang mimpi bukanlah sesuatu yang baru. Namun, seni membuat cerita memberikan dua pilihan, membuat hal baru menjadi familiar atau membuat hal familiar menjadi baru. Pilihan pertama sangat sulit tercapai karena tidak ada ide baru pada abad ini. Inilah yang menyebabkan hampir semua film dan buku yang masuk ke daftar seratus film atau buku terbaik sepanjang masa merupakan karya lama, karya pada abad lalu. Buku ini mengambil pilihan kedua. Ada keunikan sendiri yang didapat ketika seseorang membacanya.

Yang pertama, mimpi yang dititikberatkan hanyalah mimpi buruk dan cara tokoh utama menanggapi mimpi buruknya. Adalah Alnord, seorang bocah dua belas tahun yang mendapati mimpi buruk berkali-kali. Ia bermimpi masuk ke hutan menyeramkan dengan pohon-pohon berdaun yang berbentuk seperti tangan berkuku panjang dan langit gelap yang dipenuhi awan berkilat-kilat. Ia mengaku dapat merasakan suasana dingin dan mencekam ketika memimpikannya sehingga merasa benar-benar masuk ke sana, bahkan sakit ketika menampar diri sendiri untuk tersadar. Ia bercerita kepada semua orang, tetapi jawaban mereka akan sama seperti jawaban temannya, Dardyl.

“Lupain aja,” saran Dardyl. “Laki-laki berkuda, hutan, malam-malam, awan, petir. Penafsir mimpi paling hebat juga pasti bingung.”
“Ya,” kata Alnord. “Tapi terlalu aneh buat gampang dilupain.” (versi ebook hal. 35)

Di sisi lain, ia menduga hutan tersebut adalah hutan Soulom yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, tetapi ia tidak memiliki penyakit tidur berjalan sehingga tak mungkin saat tidur tanpa sadar pergi ke sana. Ia ingin memastikannya karena sebenarnya pun ia merasa ada yang memanggilnya dari hutan Soulom secara misterius. Hanya sayang, neneknya melarangnya ke sana karena banyak alasan. Alnord pun berada di antara dua pilihan, menuruti neneknya atau rasa penasarannya. Mimpinya tidak berhenti, bahkan memberinya petunjuk-petunjuk tentang hal yang telah dan akan terjadi. Bahwa ada sejenis pusaka bernama Kristal Aracruz pun ia ketahui melalui mimpi buruknya.Hingga para pembaca akan berpikir ulang ketika menyelami maksud tagline di sampul belakangnya.

Bagaimana bisa kau mengira mimpi burukmu bukan sebuah kenyataan?

Yang kedua, fakta yang dijadikan fiksi. Masalah menjadi kompleks ketika desa mereka, desa Elberg, geger. Meskipun di buku ini bukan sebuah bencana alam, kekacauan yang diceritakan mengingatkan kita pada bencana alam yang benar-benar terjadi di Kamerun, Afrika, pada tahun 1986. Bencana tersebut merupakan bencana yang sangat unik karena kemungkinan terjadi sangat kecil dan hanya bisa terjadi di tiga danau di seluruh dunia. Penjelasannya pun hanya terkait dengan hukum fisika sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa penulis memiliki ketertarikan besar dengan sains. Namun, penulis tidak menggambarkan bencana tersebut dengan sesuatu yang ilmiah dengan penjelasan rumit, tetapi dengan sesuatu yang imajinatif, tak terduga, mudah dipahami, dan sayang untuk dilewatkan. Di bagian inilah tingkat orisinalitas penulis dapat diperhitungkan. Penulis juga mengaitkan kejadian alam dengan latar belakang kebudayaan para tokoh. Hal ini membuat pembaca mudah meresap ke dalam dunia dalam novel ini.

“Benda hitam yang makan bulan itu apa?” kata Alnord. .... “Naga?” (versi ebook hal. 197-198)

Yang ketiga, penggunaan kata dalam dialog tokoh yang bisa dikatakan sangat keseharian. Hal ini mengakibatkan tempo membaca lebih cepat. Namun, tidak semua tokoh seperti itu. Penggunaan kata tiap tokoh berbeda tergantung pada beberapa hal yang dapat dipahami bila pembaca lebih cermat. Mungkin beberapa pembaca akan terganggu dengan hal itu dan menjadikannya kelemahan bagi novel ini, tetapi semua masih dapat dinikmati. Lebih dapat dimaklumi lagi jika dibandingkan dengan novel J.K. Rowling, Harry Potter, dalam versi Inggris. Penggunaan slang dan penyingkatan kata melimpah ruah, terutama untuk tokoh Hagrid karena sesuai dengan karakternya.

Yang keempat, unsur intrinsik sebuah novel akan terasa kering tanpa unsur ekstrinsik. Unsur ekstrensik di novel ini cukup lengkap. Di dalamnya terdapat unsur persahabatan, kekeluargaan, humor yang tidak dipaksa lucu, hubungan manusia dengan alam dan makhluk hidup, drama, aksi yang menegangkan, bahkan politik kerajaan.

“Ini benar-benar kelewatan.” Charlom mengeluh dan mengumpat. “Upeti cuma ditagih, tapi kurang kelihatan perbaikan yang nyata, bikin kecewa, bukan tipe pe—.” Charlom menghentikan kalimatnya. Ia bisa dikenai tuntutan bila tertangkap menghina raja. (versi ebook hal. 108)

Yang kelima, setiap tokoh berperan penting dalam jalinan plot yang begitu kuat. Tidak ada kejadian yang percuma. Tidak bertele-tele. Setiap kejadian pasti memiliki sebab akibat dengan kejadian sebelum dan sesudahnya. Bahkan pembaca dituntut untuk teliti ketika membaca setiap dialog karena semuanya menjadi kejutan di beberapa bagian cerita. Novel dengan genre fantasi dinilai sebagai genre yang harus dipenuhi hal tak terduga, terutama bagian akhir cerita dan novel ini berhasil menyentak dengan penutup cerita yang sulit tertebak pembaca.

-------- 

NB: versi e-book dapat diunduh di sini.

Senin, 22 Oktober 2012

Keping-Keping Cermin

Aku adalah orang yang kuperhatikan. Aku suka sekali ketika semua orang bergerak di depanku, mendadak termenung menatapku untuk melihat sisi terdalam dari diri mereka, lalu dengan bibir berat mereka bertanya padaku. Sekarang pun aku sedang begitu. Memerhatikan tanpa sepengetahuan mereka, menelisik apa yang mereka pikirkan, di balik cermin raksasa yang retak berbulan-bulan, seperti seseorang yang mencinta diam-diam.

Rama tak bosan mengingatkan bahwa garpu hanyalah alat bantu, dilarang dipakai untuk memasukkan makanan ke mulut kalau masih di tangan kiri, karena hanya setan yang makan dengan tangan itu. Mereka berdoa dengan mata terpejam, lalu saat membuka mata dan akan mulai makan, mereka melihat Haris si sulung berdoa dengan tangan terkatup. Lalu Haris menyentuh kening, dada, serta pundak kiri dan kanan. Bapa, Putranya—Yesus Kristus, dan Roh Kudus, katanya. Yang lain tercengang. Setelah itu Haris mengaku bahwa ia sudah dibaptis. Semuanya pun terjadi begitu cepat.

Ruangan penuh dengan ucapan istighfar dan Masya Allah yang menggaung dari bibir Rama. Aulia terdiam di kursinya. Rama mempertanyakan kenapa Haris bisa segila itu. Rama dan Haris bertengkar mulut, Aulia yang sudah lama tahu membela abangnya, sedangkan Suci bingung memilih pihak yang mana dan mulai bercucuran air mata. Sampai Rama menggebrak meja, menyuruh semua orang diam, dan dengan suara selantang azan subuh di tengah keheningan pagi mengatakan bahwa ia tak bisa menerima orang yang tak seiman berada di rumahnya. Bahkan Suci gagal membuat suaminya menarik kata-katanya kembali. Anak sulungnya pun, tanpa bisa dicegah, membawa pakaian dan meninggalkan rumah.

Rama terdiam berdiri memandangiku di situ, sampai yang lain lelah dan beranjak, meninggalkannya bersama makanan yang telah dingin. Ia mengaku padaku merasa tanpa berhenti mengajarkan agama sejak anak-anaknya kecil. Lantas ia berteriak padaku, bagian mana yang salah? Dadanya naik turun. Ketika aku tak bisa memberikan jawaban, ia melempariku dengan piring sampai cerminku ini retak.

Sekarang hanya terdengar suara dentang-denting sendok dan garpu melawan piring beling. Suci melirik-lirik tak nyaman ke Aulia yang sedari tadi cekikikan dengan ponselnya. Makanannya dingin diabaikan terlalu lama. Aku pindah ke bagian cembung sendok Aulia yang masih tertelungkup di piring, untuk melihat wajah Suci lebih dekat, dan kutangkap bibirnya terbuka sejenak lalu terkatup lagi.

“Apa kabar temanmu itu, siapa tuh, Wirya?”

Malah Rama yang memulai percakapan. Aku pindah ke cermin retak lagi agar dapat melihat mimik Rama dan Aulia lebih jelas.

“Pacar, Yah, bukan temen,” kata Aulia tanpa melepaskan pandangan dari layar ponsel. “Dia baik-baik aja kok. Dia ditempatin di KPP Pekalongan, pilihan keduanya. Besok dia yang jemput aku di Solo.”

“Kalau kamu lagi bareng temen spesialmu itu,” kata Rama, kukuh mengindari sebutan pacar. “tapi kamu sibuk ngobrol sama cowok lain di HP, dia cemburu nggak?”

“Papa nanya apaan sih,” kata Aulia sambil mengetik pesan. “Ya pastilah cemburu.”

“Kenapa?”

“Ya karena Wirya sayang banget sama Aulia.”

Aulia terus saja mengobrol dengan Wirya, terbahak sendirian, membuat yang lain ingin tahu apa yang ditertawakan, untuk ikut tertawa kalau bisa.

“Ini makan malam terakhir kita sebelum kamu berangkat,” kata Rama. “Tapi kamu malah bikin papa cemburu.”

Rama menelungkupkan sendok dan garpunya lalu bangkit sampai kursinya berderit. Aulia berhenti mengetik. Tawanya seketika meredup, bekas-bekas berupa senyum pun tak ada. Matanya menatap lurus, kosong, tersadar ia tak perlu bertanya kenapa, kemudian menoleh ke arah Rama yang sedang berjalan menjauh tanpa menoleh. Ia meletakkan ponselnya dan makan sampai habis tanpa kata. Pesan dari Wirya pun tak lagi dibaca.

Rama biasa langsung menyikat gigi setelah makan. Aku segera ke wastafel. Kemudian aku dan Rama saling bertatapan, sikat giginya mengacung di tangan. Lantas ia membungkuk, berkumur-kumur, dan meletakkan sikat giginya di gelas sampai berdenting. Dengan kedua tangan berpangku pada wastafel, ia menatapku. Dengan terus menuntut jawaban yang memuaskan, ia bertanya padaku, siapkah aku ditinggal anakku lagi yang lebih memilih keputusannya sendiri?


*

Suci mengetuk pintu, membuka dan mengintip dari celah, menanyakan apakah Aulia sedang sibuk atau tidak, dan meminta izin masuk. Aulia yang sedang mengetik untuk blognya berbalik dan mempersilakan Suci menghampirinya. Di tepi tempat tidur Suci duduk, meletakkan keranjang baju bersih di samping, memerhatikan kamar Aulia yang semakin lega serta barang-barangnya yang sudah dikemas, dan ia menghela napas, memastikan napasnya cukup untuk mengutarakan semuanya.

“Jadinya kamu beli tiket dari agen mana?” Suci berbasa-basi lebih dulu, mengetes apakah ia masih sanggup mengutarakan pikirannya atau tidak.

“Dari RC Tour Travel, Mah,” kata Aulia. “Lebih murah daripada harga tiket dari garudanya sendiri.”

“Oh gitu.” Suci terdiam sejenak, kemudian dengan cepat ia melepas napasnya bersama pikiran yang telah menggantung lama. “Mama masih belum terima kamu lebih milih penempatan yang deket sama Wirya daripada sama mama.”

Suci menarik napas lagi. “Dari awal juga mama nggak pernah ngasih restu ke kalian.”

“Aulia pacarannya juga serius kok, bukan cuma seneng-seneng, dan kalau mama masih khawatir akan terjadi apa-apa, Aulia tahu batas.”

“Mama papa enggak pake pacaran dulu,” kata Suci. “Bisa kok jaga pernikahan sampe tiga puluh tahun. Punya dua anak sehat semua. Mama nyekolahin kamu dari TK sampe kuliah. Mama masakin kamu, sarapan, makan siang, makan malem. Mama nyuciin baju kamu. Mama ngebeliin barang-barang yang kamu mau dan butuhin. Mama ngejalanin kodrat mama sebagai orang tua, sekarang kamu dong yang harus ngejalanin kodrat anak, berbakti sama orang tua, nurut sama kata mama. Sakit hati mama kamu lebih milih Wirya.”

Aulia pernah membicarakan masalah ini dengan Wirya sebelum keputusan penempatan mereka keluar, setelah mereka pembekalan sebelum magang dan mulai memikirkan penempatan.. Mereka duduk di kursi restoran dan aku memandangi dari cermin di tiang.

“Kenapa enggak milih satu pun KPP di Palembang?” kata Wirya.

“Untuk apa di rumah kalau nggak ngerasa di rumah?” kata Aulia lalu menyedot jusnya. “Aku terlalu sering berantem sama mama papa sejak Kak Haris pergi. Daripada jadi anak durhaka mending jadi anak mandiri.” Ia menatap Wirya. “Sekarang semuanya bikin aku bingung. Katanya kasih orang tua itu kayak panas matahari ke bumi, enggak terbalaskan, tapi kok sekarang aku nggak ngerasain kehangatannya ya?”

Wirya merangkul pundaknya dan menyenderkan kepalanya di kepala dia sendiri dan mengusap-usap rambut pelipisnya. “Mungkin orang tua kamu cuma lupa atau belum tahu caranya sayang sama orang lain selain karena kodrat,” kata Wirya. Aulia terpejam nyaman. “Dan kalau kamu merasa tahu caranya, kamu yang harus ngajarin mereka. Mungkin penghalang kehangatan mereka cuma awan mendung. Tinggal kita yang harus bisa menjadikannya hujan.”

Aulia merangkul perut Wirya yang kemudian mendekap dan mengusap-usap punggungnya, membuatnya begitu nyaman. Aulia memandangiku yang memerhatikannya dari belakang. Matanya menyampaikan pertanyaan dari benaknya, apa yang berbeda dari rasa ini dengan rasa sayang orang tuanya, kenapa aku merasa rasa sayang Wirya begitu lengkap?

Dari dinding kamar Aulia lagi, aku memandangi Suci, menunggu ucapan Aulia yang terdiam begitu lama mengingat ucapan Wirya itu.

“Kalau mama sayang sama Aulia cuma karena kodrat,” kata Aulia. Suaranya begitu tenang. “Apa bedanya kita sama hewan? Induk burung juga gitu ke anaknya. Lagian kalau soal kodrat, udah kodratnya juga anak bakal ninggalin orang tuanya. Yang ngebedain cuma waktu. Sekarang atau nanti.”

Aulia menatap lurus ke mata Suci. Diserang seperti itu, Suci membuang mukanya. Napasnya menderu-deru, ia beristighfar berkali-kali sambil memompa dadanya agar lebih luas dan mampu menghilangkan kesesakan. Butuh beberapa menit sampai ia tenang dan memandangi Aulia lagi, tetapi ia memilih beranjak dari kamar itu.

Suci masuk ke kamarnya. Aku bertandang ke meja riasnya. Ia menjatuhkan keranjang dan dirinya di kasur, menghela napas beberapa kali sebelum mulai melipat pakaian, celana dalam, dan kaus kaki. Saat melipat baju Aulia, ia bergeming, memandangi dinding. Seakan di sana ada jawaban, lalu ia memandangi suaminya yang sedang membaca. Ia menghela napas sekali lagi.

“Sekarang Haris nggak pernah ngubungin lagi,” kata Suci sembari lanjut melipat pakaian. “Ntar Aulia juga paling gitu. Asyik sama si Wirya. Apalagi dia sibuk kerja. Dan kalau kita sering ngubungin dia buat nanya kabar, pasti ganggu.” Ia berhenti untuk menghela napas dan beristighfar. “Mama cuma nggak mau bener-bener ditinggal anak mama lagi.”

Rama menatap Suci, terdiam tak tahu tanggapan yang tepat. Lantas Suci menyusun baju-baju di keranjang dan meletakkannya di meja pojok untuk disetrika besok. Ia duduk di meja rias, menatapku. Wajahnya putih bersih, kulitnya kencang, orang takkan menyangka umurnya empat puluhan. Seperti kebiasaan yang telah ia lakukan bertahun-tahun, ia mengolesi semua bagian wajahnya dengan Oxygen Boost Cream keluaran Oriflame. Lalu ia bergeming, menatapku dalam-dalam.

“Kalau sudah kodratnya orang tua untuk membesarkan anak dan melepaskan anak yang sudah dewasa karena hewan pun begitu,” kata Suci, “Kenapa cuma manusia yang dikasih ikatan perasaan antara orang tua dan anaknya? Kenapa cuma manusia yang saat melepaskan anak-anaknya rasanya begitu berat?”

*

Di kursi kerja, Aulia mengangkat ponselnya yang sepi. Sudah hampir seminggu ia tinggal di Salatiga, tetapi belum ada telepon bahkan SMS dari Suci atau Rama. Kemudian ia tersenyum-senyum sendiri. Aku memerhatikannya dari layar ponselnya yang masih gelap. Biasanya ia begitu kalau teringat pada Wirya dan hendak menghubunginya. Benar saja. Ia menekan tombol. Layarnya menyala terang jadi aku tak bisa memandangi mimiknya dari depan, tetapi aku tahu apa yang ia ketik di layar.

Ay, lagi ngapain? Udah makan?
Bosen banget nih seharian rekam SPT, pundak sampe sakit, mata kecapean liat komputer melulu. Huaah.
Coba kalau kerjaanku liat kamu. Seharian pun pasti nggak bosen. :p
Nggak sabar Minggu ini nemenin kamu pulang terus main ke Batur Raden.

Saat Aulia hendak menekan tombol kirim, sesuatu mencegahnya hingga senyumnya redup. Layar ponselnya menggelap, terlalu lama diabaikan, dan aku bisa melihat mimiknya lagi yang bingung sembari ia menggoyang-goyangkan ponselnya. Ia termangu sejenak, memandangiku, memikirkan apa yang kulakukan. Lantas ia menghapus pesan tadi dan mengganti nomor tujuan pesan.

Lagi pada ngapain? Udah pada makan belum?
Di kantor kerjaanku cuma ngerekam SPT sih, tapi tadi kepala seksi muji aku kerjanya cepet banget. Yeay! :)
Kenapa pada nggak ngubungin deh? :(
Aku kangen banget sama mama papa nih.

Rabu, 15 Agustus 2012

Punggah Kenangan

Xenophobia--ketakutan akan hal asing--pernah menjadikan saya pribadi statis. Saya lebih suka di rumah. Kalau pun harus keluar rumah, saya menghindari tempat ramai seperti mal karena di sana harus melewati banyak orang asing. Setiap kali menerobos keramaian, saya merasa risih, merasa dilihat orang-orang, padahal mata mereka mengarah ke tempat lain. Sehabis upacara bendera  di sekolah, orang-orang berhamburan menuju kelas dan saya berada di tengah mereka, mata mendadak lelah. Terlalu banyak orang yang tak saya kenal. Mereka bergerak acak. Fokus saya berantakan. Saya pusing.

Saya lebih memilih menjaga dan meningkatkan kualitas pertemanan dengan orang yang sudah lama saya ketahui ketimbang berkenalan dengan orang baru. Bahkan teman sekelas yang sering saya ajak berbicara paling banyak hanya lima dari empat puluh. Namun, tak selamanya teman akrab dekat selamanya secara fisik. Mereka datang dan pergi. Saya pernah menyendiri setelah mereka pergi, interaksi dengan sekitar hanya basa-basi. Saya tetap makhluk sosial sehingga keadaan menumbuhkan kenyamanan dengan teman baru. Kemudian mereka menjadi teman akrab saya. Bahkan yang lama sedikit terlupakan. Namun, ada yang lebih buruk daripada bertemu orang baru.

Saya harus pindah ke lingkungan lain. Itu selalu terjadi ketika rasa nyaman dengan sahabat baru sudah tak tergantikan, yakni saat jalan hidup kami sampai ke persimpangan. Kadang mereka diam di tempat, sedangkan saya yang berbelok atau kami sama-sama berbelok. Bertemu dengan orang baru bisa saya atasi ketika lingkungan masih sama, tetapi ketika lingkungan berganti, saya kewalahan. Saya tak merokok, menyukai sepak bola, ataupun meminum  kopi sambil ngalor-ngidul seperti laki-laki kebanyakan sehingga faktor pemersatu saya dengan orang baru sedikit sekali. Saya suka berpikir lingkungan baru akan sulit menerima karena minat saya begitu berbeda dengan mereka.

Sudah banyak terbukti bahwa mengatasi ketakutan adalah membiasakan ketakutan itu sendiri. Semakin sering saya berada di tempat asing, semakin menciutlah Xenophobia saya. Dua tahun lalu saya bersama teman-teman pergi ke Bromo menggunakan kereta ekonomi. Di kereta saya memerhatikan orang-orang, menebak-nebak benak mereka, dan ketika sadar mereka tak memerhatikan saya, saya tenang. Di Bromo kami berkenalan dengan sesama turis lokal dan asing. Kami banyak mengobrol. Di situ saya belajar bahwa interaksi dengan orang baru bisa dengan cara selain berbasa-basi. Mereka bercerita saja seakan sudah lama mengenal kami. Alih-alih merasa tak peduli, saya mendengarkan mereka dan memberikan timbal balik agar mereka tak seperti sedang berbicara dengan tembok. Selain ke Bromo, kami juga mengunjungi beberapa kota seperti Mojokerto, Yogyakarta, Magelang, dan Kutoarjo. Saya menginap di rumah teman dan belajar mengakrabkan diri dengan keluarga mereka, yang cerita tentang mereka pun belum pernah saya dengar sebelumnya. Ketakutan saya akan hal asing melindap dari jiwa saya.

Kemudian rasa takut itu muncul lagi. Manajemen Multiply menyatakan akan mematikan layanan blognya per 1 Desember 2012. Blog tersebut sudah menjadi rumah kedua. Saya mengukir kisah di dindingnya agar semuanya tak dipudarkan waktu. Saya berkenalan dengan banyak orang, memahami jalan pikiran mereka, menerima segala keunikan mereka. Kami tak pernah bertemu, tetapi cerita-cerita kami saling mengikat. Saya mengontrak lebih dari dua tahun dan memang selama itu pula saya tak membayar sewanya. Sekarang pemiliknya berniat mendepak. Saya harus pindah sebelum diusir mentah-mentah.

Di sinilah saya bertandang sekarang, memulai segalanya lagi dari awal. Berkenalan lagi dengan banyak orang. Mereka semua asing, tetapi saya sudah terbiasa. Bukannya melupakan, tetapi terlalu banyak mengingat akan membuat saya pening. Saya memutuskan memunggah semua kenangan dari otak dan menyimpannya di hati saja. Saya juga tak ingin pindah, tetapi daripada bersedih karena semuanya berakhir, lebih baik tersenyum karena semuanya terjadi.