Aku adalah orang yang kuperhatikan. Aku suka sekali ketika semua orang
bergerak di depanku, mendadak termenung menatapku untuk melihat sisi
terdalam dari diri mereka, lalu dengan bibir berat mereka bertanya
padaku. Sekarang pun aku sedang begitu. Memerhatikan tanpa sepengetahuan
mereka, menelisik apa yang mereka pikirkan, di balik cermin raksasa
yang retak berbulan-bulan, seperti seseorang yang mencinta diam-diam.
Rama
tak bosan mengingatkan bahwa garpu hanyalah alat bantu, dilarang
dipakai untuk memasukkan makanan ke mulut kalau masih di tangan kiri,
karena hanya setan yang makan dengan tangan itu. Mereka berdoa dengan
mata terpejam, lalu saat membuka mata dan akan mulai makan, mereka
melihat Haris si sulung berdoa dengan tangan terkatup. Lalu Haris
menyentuh kening, dada, serta pundak kiri dan kanan. Bapa,
Putranya—Yesus Kristus, dan Roh Kudus, katanya. Yang lain tercengang.
Setelah itu Haris mengaku bahwa ia sudah dibaptis. Semuanya pun terjadi
begitu cepat.
Ruangan penuh dengan ucapan istighfar dan Masya
Allah yang menggaung dari bibir Rama. Aulia terdiam di kursinya. Rama
mempertanyakan kenapa Haris bisa segila itu. Rama dan Haris bertengkar
mulut, Aulia yang sudah lama tahu membela abangnya, sedangkan Suci
bingung memilih pihak yang mana dan mulai bercucuran air mata. Sampai
Rama menggebrak meja, menyuruh semua orang diam, dan dengan suara
selantang azan subuh di tengah keheningan pagi mengatakan bahwa ia tak
bisa menerima orang yang tak seiman berada di rumahnya. Bahkan Suci
gagal membuat suaminya menarik kata-katanya kembali. Anak sulungnya pun,
tanpa bisa dicegah, membawa pakaian dan meninggalkan rumah.
Rama
terdiam berdiri memandangiku di situ, sampai yang lain lelah dan
beranjak, meninggalkannya bersama makanan yang telah dingin. Ia mengaku
padaku merasa tanpa berhenti mengajarkan agama sejak anak-anaknya kecil.
Lantas ia berteriak padaku, bagian mana yang salah? Dadanya naik turun.
Ketika aku tak bisa memberikan jawaban, ia melempariku dengan piring
sampai cerminku ini retak.
Sekarang hanya terdengar suara
dentang-denting sendok dan garpu melawan piring beling. Suci
melirik-lirik tak nyaman ke Aulia yang sedari tadi cekikikan dengan
ponselnya. Makanannya dingin diabaikan terlalu lama. Aku pindah ke
bagian cembung sendok Aulia yang masih tertelungkup di piring, untuk
melihat wajah Suci lebih dekat, dan kutangkap bibirnya terbuka sejenak
lalu terkatup lagi.
“Apa kabar temanmu itu, siapa tuh, Wirya?”
Malah Rama yang memulai percakapan. Aku pindah ke cermin retak lagi agar dapat melihat mimik Rama dan Aulia lebih jelas.
“Pacar,
Yah, bukan temen,” kata Aulia tanpa melepaskan pandangan dari layar
ponsel. “Dia baik-baik aja kok. Dia ditempatin di KPP Pekalongan,
pilihan keduanya. Besok dia yang jemput aku di Solo.”
“Kalau kamu
lagi bareng temen spesialmu itu,” kata Rama, kukuh mengindari sebutan
pacar. “tapi kamu sibuk ngobrol sama cowok lain di HP, dia cemburu
nggak?”
“Papa nanya apaan sih,” kata Aulia sambil mengetik pesan. “Ya pastilah cemburu.”
“Kenapa?”
“Ya karena Wirya sayang banget sama Aulia.”
Aulia
terus saja mengobrol dengan Wirya, terbahak sendirian, membuat yang
lain ingin tahu apa yang ditertawakan, untuk ikut tertawa kalau bisa.
“Ini makan malam terakhir kita sebelum kamu berangkat,” kata Rama. “Tapi kamu malah bikin papa cemburu.”
Rama
menelungkupkan sendok dan garpunya lalu bangkit sampai kursinya
berderit. Aulia berhenti mengetik. Tawanya seketika meredup, bekas-bekas
berupa senyum pun tak ada. Matanya menatap lurus, kosong, tersadar ia
tak perlu bertanya kenapa, kemudian menoleh ke arah Rama yang sedang
berjalan menjauh tanpa menoleh. Ia meletakkan ponselnya dan makan sampai
habis tanpa kata. Pesan dari Wirya pun tak lagi dibaca.
Rama
biasa langsung menyikat gigi setelah makan. Aku segera ke wastafel.
Kemudian aku dan Rama saling bertatapan, sikat giginya mengacung di
tangan. Lantas ia membungkuk, berkumur-kumur, dan meletakkan sikat
giginya di gelas sampai berdenting. Dengan kedua tangan berpangku pada
wastafel, ia menatapku. Dengan terus menuntut jawaban yang memuaskan, ia
bertanya padaku, siapkah aku ditinggal anakku lagi yang lebih memilih
keputusannya sendiri?
*
Suci mengetuk pintu, membuka dan
mengintip dari celah, menanyakan apakah Aulia sedang sibuk atau tidak,
dan meminta izin masuk. Aulia yang sedang mengetik untuk blognya
berbalik dan mempersilakan Suci menghampirinya. Di tepi tempat tidur
Suci duduk, meletakkan keranjang baju bersih di samping, memerhatikan
kamar Aulia yang semakin lega serta barang-barangnya yang sudah dikemas,
dan ia menghela napas, memastikan napasnya cukup untuk mengutarakan
semuanya.
“Jadinya kamu beli tiket dari agen mana?” Suci
berbasa-basi lebih dulu, mengetes apakah ia masih sanggup mengutarakan
pikirannya atau tidak.
“Dari RC Tour Travel, Mah,” kata Aulia. “Lebih murah daripada harga tiket dari garudanya sendiri.”
“Oh
gitu.” Suci terdiam sejenak, kemudian dengan cepat ia melepas napasnya
bersama pikiran yang telah menggantung lama. “Mama masih belum terima
kamu lebih milih penempatan yang deket sama Wirya daripada sama mama.”
Suci menarik napas lagi. “Dari awal juga mama nggak pernah ngasih restu ke kalian.”
“Aulia
pacarannya juga serius kok, bukan cuma seneng-seneng, dan kalau mama
masih khawatir akan terjadi apa-apa, Aulia tahu batas.”
“Mama
papa enggak pake pacaran dulu,” kata Suci. “Bisa kok jaga pernikahan
sampe tiga puluh tahun. Punya dua anak sehat semua. Mama nyekolahin kamu
dari TK sampe kuliah. Mama masakin kamu, sarapan, makan siang, makan
malem. Mama nyuciin baju kamu. Mama ngebeliin barang-barang yang kamu
mau dan butuhin. Mama ngejalanin kodrat mama sebagai orang tua, sekarang
kamu dong yang harus ngejalanin kodrat anak, berbakti sama orang tua,
nurut sama kata mama. Sakit hati mama kamu lebih milih Wirya.”
Aulia
pernah membicarakan masalah ini dengan Wirya sebelum keputusan
penempatan mereka keluar, setelah mereka pembekalan sebelum magang dan
mulai memikirkan penempatan.. Mereka duduk di kursi restoran dan aku
memandangi dari cermin di tiang.
“Kenapa enggak milih satu pun KPP di Palembang?” kata Wirya.
“Untuk
apa di rumah kalau nggak ngerasa di rumah?” kata Aulia lalu menyedot
jusnya. “Aku terlalu sering berantem sama mama papa sejak Kak Haris
pergi. Daripada jadi anak durhaka mending jadi anak mandiri.” Ia menatap
Wirya. “Sekarang semuanya bikin aku bingung. Katanya kasih orang tua
itu kayak panas matahari ke bumi, enggak terbalaskan, tapi kok sekarang
aku nggak ngerasain kehangatannya ya?”
Wirya merangkul pundaknya
dan menyenderkan kepalanya di kepala dia sendiri dan mengusap-usap
rambut pelipisnya. “Mungkin orang tua kamu cuma lupa atau belum tahu
caranya sayang sama orang lain selain karena kodrat,” kata Wirya. Aulia
terpejam nyaman. “Dan kalau kamu merasa tahu caranya, kamu yang harus
ngajarin mereka. Mungkin penghalang kehangatan mereka cuma awan mendung.
Tinggal kita yang harus bisa menjadikannya hujan.”
Aulia
merangkul perut Wirya yang kemudian mendekap dan mengusap-usap
punggungnya, membuatnya begitu nyaman. Aulia memandangiku yang
memerhatikannya dari belakang. Matanya menyampaikan pertanyaan dari
benaknya, apa yang berbeda dari rasa ini dengan rasa sayang orang
tuanya, kenapa aku merasa rasa sayang Wirya begitu lengkap?
Dari dinding kamar Aulia lagi, aku memandangi Suci, menunggu ucapan Aulia yang terdiam begitu lama mengingat ucapan Wirya itu.
“Kalau
mama sayang sama Aulia cuma karena kodrat,” kata Aulia. Suaranya begitu
tenang. “Apa bedanya kita sama hewan? Induk burung juga gitu ke
anaknya. Lagian kalau soal kodrat, udah kodratnya juga anak bakal
ninggalin orang tuanya. Yang ngebedain cuma waktu. Sekarang atau nanti.”
Aulia
menatap lurus ke mata Suci. Diserang seperti itu, Suci membuang
mukanya. Napasnya menderu-deru, ia beristighfar berkali-kali sambil
memompa dadanya agar lebih luas dan mampu menghilangkan kesesakan. Butuh
beberapa menit sampai ia tenang dan memandangi Aulia lagi, tetapi ia
memilih beranjak dari kamar itu.
Suci masuk ke kamarnya. Aku
bertandang ke meja riasnya. Ia menjatuhkan keranjang dan dirinya di
kasur, menghela napas beberapa kali sebelum mulai melipat pakaian,
celana dalam, dan kaus kaki. Saat melipat baju Aulia, ia bergeming,
memandangi dinding. Seakan di sana ada jawaban, lalu ia memandangi
suaminya yang sedang membaca. Ia menghela napas sekali lagi.
“Sekarang
Haris nggak pernah ngubungin lagi,” kata Suci sembari lanjut melipat
pakaian. “Ntar Aulia juga paling gitu. Asyik sama si Wirya. Apalagi dia
sibuk kerja. Dan kalau kita sering ngubungin dia buat nanya kabar, pasti
ganggu.” Ia berhenti untuk menghela napas dan beristighfar. “Mama cuma
nggak mau bener-bener ditinggal anak mama lagi.”
Rama menatap
Suci, terdiam tak tahu tanggapan yang tepat. Lantas Suci menyusun
baju-baju di keranjang dan meletakkannya di meja pojok untuk disetrika
besok. Ia duduk di meja rias, menatapku. Wajahnya putih bersih, kulitnya
kencang, orang takkan menyangka umurnya empat puluhan. Seperti
kebiasaan yang telah ia lakukan bertahun-tahun, ia mengolesi semua
bagian wajahnya dengan Oxygen Boost Cream keluaran Oriflame. Lalu ia
bergeming, menatapku dalam-dalam.
“Kalau sudah kodratnya orang
tua untuk membesarkan anak dan melepaskan anak yang sudah dewasa karena
hewan pun begitu,” kata Suci, “Kenapa cuma manusia yang dikasih ikatan
perasaan antara orang tua dan anaknya? Kenapa cuma manusia yang saat
melepaskan anak-anaknya rasanya begitu berat?”
*
Di kursi kerja,
Aulia mengangkat ponselnya yang sepi. Sudah hampir seminggu ia tinggal
di Salatiga, tetapi belum ada telepon bahkan SMS dari Suci atau Rama.
Kemudian ia tersenyum-senyum sendiri. Aku memerhatikannya dari layar
ponselnya yang masih gelap. Biasanya ia begitu kalau teringat pada Wirya
dan hendak menghubunginya. Benar saja. Ia menekan tombol. Layarnya
menyala terang jadi aku tak bisa memandangi mimiknya dari depan, tetapi
aku tahu apa yang ia ketik di layar.
Ay, lagi ngapain? Udah makan?
Bosen banget nih seharian rekam SPT, pundak sampe sakit, mata kecapean liat komputer melulu. Huaah.
Coba kalau kerjaanku liat kamu. Seharian pun pasti nggak bosen. :p
Nggak sabar Minggu ini nemenin kamu pulang terus main ke Batur Raden.
Saat
Aulia hendak menekan tombol kirim, sesuatu mencegahnya hingga senyumnya
redup. Layar ponselnya menggelap, terlalu lama diabaikan, dan aku bisa
melihat mimiknya lagi yang bingung sembari ia menggoyang-goyangkan
ponselnya. Ia termangu sejenak, memandangiku, memikirkan apa yang
kulakukan. Lantas ia menghapus pesan tadi dan mengganti nomor tujuan
pesan.
Lagi pada ngapain? Udah pada makan belum?
Di kantor kerjaanku cuma ngerekam SPT sih, tapi tadi kepala seksi muji aku kerjanya cepet banget. Yeay! :)
Kenapa pada nggak ngubungin deh? :(
Aku kangen banget sama mama papa nih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar