Aku
terkejut ketika seorang manusia laki-laki, aku dengar namanya Rio, menyambar
suamiku dari sangkar kami. Suamiku memekik-mekik, tetapi cengkraman lelaki itu
tak goyah. Sehelai bulu suamiku rontok ke lantai. Aku berkukur ketakutan. Suamiku
berkukur minta tolong. Kuberanikan diri mencakar-cakar tangan lelaki itu.
Genggamannya sempat longgar, tetapi ia tetap berhasil menculik suamiku.
Kemudian aku melongok ke luar. Ia juga menggamitku. Kami dimasukkan ke dalam
sangkar baru. Lalu ia membawa kami entah ke mana.
Aku
pernah dengar tentang lapangan Sajana ini. Teman-temanku sering berkumpul di
satu-satunya pohon di sana, tetapi hanya sementara karena kebanyakan ingin
punya tempat tinggal sendiri, bukan di rumah susun. Maka saat aku melihat satu-satunya
pohon di sebuah lapangan, aku langsung tahu bahwa ini adalah lapangan Sajana.
Laki-laki itu menggantung sangkar kami di sini. Kemudian tangannya masuk,
menarikku keluar. Mau diapakan lagi aku ini? Ternyata ia hanya memasangkan pita
lantas meninggalkan kami bermalam di sini. Kami bertengger menatap langit. Suamiku
merentangkan sayap kanannya dan menyusupkanku di situ. Ia berkukur. Aku
bertanya kira-kira kenapa kami ditinggalkan di tempat seperti ini. Suamiku
hanya menjawab semua akan baik-baik saja. Ia berkukur lagi. Aku merasakan
kehangatan dekapannya, tetapi aku tetap tak bisa dibuat tenang. Besoknya kami
tahu kami dijadikan alat untuk prosesi pernikahan, yang caranya tak pernah
kulihat sebelumnya. Mereka melepaskan kami ke angkasa.
Di
udara, tiba-tiba suamiku berkata. “Kesetiaan kaum kita begitu terkenal sampai
dijadikan simbol kesetiaan oleh manusia yang ingin berpasangan.”
Kami
terbang begitu jauh sampai masuk ke kebun karet. Di sana kami berhenti dan
suamiku memutuskan bahwa kami akan tinggal di situ. Ia membagi tugas. Ia
mencari ranting-ranting kecil, aku yang menyusunnya jadi sarang. Ia begitu
bersemangat, tetapi aku menjawab dengan iya saja. Pendek. Datar. Aku membangun
sarang seadanya. Saat ia membagi larva yang ia dapatkan, tiba-tiba aku merasa
kenyang dan tak mau makan. Ia mengusap-usapkan lehernya ke leherku sebelum
tidur, aku diam saja, kemudian ia terlelap dengan senyum. Aku masih terjaga. Di
tengah kesepian malam, aku menangis. Aku tak tahu perasaan apa yang sedang
menjangkitiku. Aku hanya bisa berkukur pilu.
Sungguh
aku benar-benar bingung. Ia pun mulai bertanya-tanya kenapa dan aku hanya bisa
menjawab tidak apa-apa.
“Apa
kita masih perlu mengatakan aku cinta padamu?” rayunya. “Sedangkan kita tidak
perlu apa-apa karena setia sudah jadi naluri kita. Meskipun begitu, aku tetap
ingin bilang aku cinta padamu dan aku yakin betul kau juga cinta padaku.”
Aku hanya
menganga, cara tersenyum untuk makhluk seperti kami. Berhari-hari kami
melakukan hal yang sama. Pagi buta ia mencari cacing untuk dimakan berdua. Ia
selalu berkukur merdu dan bersyair, tetapi aku tak terbuai dibuatnya. Ia heran
ketika aku menolak tawarannya untuk bertelur. Lalu ia tersenyum karena mengira
bahwa aku menolak karena tak ingin perhatianku kepadanya terbagi ke anak-anak
dulu, hanya karena aku cinta mati padanya. Karena kami adalah makhluk paling
setia. Begitu katanya.
Setelah
sebulan tinggal hanya berdua di daerah situ datanglah sepasang merpati putih
lain. Aku bersorak senang. Mereka kuajak berkenalan duluan. Aku perkenalkan
dengan daerah sekitar situ. Sampai sang betina akrab denganku dan aku bisa
bercerita semua kepadanya, terutama perasaan yang telah menggangguku sejak
sekian lama itu. Ia mendengarkan dengan saksama.
“Mungkin
aku sudah tak sayang lagi padanya,” kataku setelah bercerita.
“Maksudmu,
kau sudah tak sayang,” katanya. “Tetapi jadi cinta mati?”
“Bukan
seperti itu,” aku mendongak dulu menahan air mata. “Seperti aku tak punya
perasaan apa-apa lagi padanya. Seperti aku sudah tak peduli lagi dengannya.”
“Itu
tak mungkin, Sayang,” kata temanku dengan begitu yakin sampai ia merangkulku. “Kita
ini makhluk yang setia. Tak mungkin cinta yang sudah ditambatkan ke seekor
merpati jantan bisa hilang begitu saja. Kau perlu mati untuk melakukannya.”
“Mungkin
kau ada benarnya juga,” kataku tak puas. Aku pamit pulang.
Aku
sedang merapikan ranting dan membersihkannya dari remahan kayu dan daun ketika
mendengar suara kukur yang begitu syahdu. Puisi-puisi indah yang tak pernah
kudengar sebelumnya. Aku melompat-lompat dan menoleh mencari sumber suara
tersebut, lalu kutemukan dirinya bertengger di puncak pohon karet. Sayapnya
mengembang begitu gagah. Bulu coklatnya seperti emas yang berkilauan dihujani
cahaya matahari. Begitu tampan. Tembolokku berdenyut. Pundi-pundi udaraku kembang
kempis. Aku tahu perasaan itu. Kemudian ia menoleh ke arahku, aku langsung
buang muka. Saat aku melirik ke arahnya lagi, ia sudah di depanku.
“Halo,
Cantik,” katanya. Kemudian ia merayu-rayuku. Aku begitu terbuai sampai
membiarkannya mengelus lehernya ke leherku. Aku jatuh cinta.
“Bawa
aku pergi dari sini,” kataku. “Cepatlah.”
Aku tak
kembali selama sebulan. Sampai aku menelurkan tiga butir cintaku. Aku merawat
mereka dengan baik bersama suami baruku. Bergantian mengerami dan mencari makan
sampai anak-anakku menetas dengan lucunya. Juga bergantian meneteskan susu
tembolok dari paruh kami. Aku merasa bahagia. Sampai aku tak perlu pusing
merahasiakan masa laluku karena aku benar-benar sudah lupa. Hingga suatu hari,
sahabatku dan suaminya sampai ke wilayah kami.
“Terima
kasih, Tuhan,” katanya tiba-tiba bertamu. Kukurannya heboh sekali. “Akhirnya
suamimu menemukanmu juga.”
Aku
langsung menariknya ke tempat yang tak terlihat suamiku. Aku harus mengatakan
yang sebenarnya, tetapi rasanya begitu sulit. Suaraku tertahan di tembolok. Aku
terpejam dan beberapa kali mengembuskan napas. “Dia bukan suamiku yang dulu,”
kataku cepat.
“Yah,
dia terlihat berbeda,” katanya. “Dan tampak semakin cinta padamu. Begitu kan? Dulu
kan bulu suamimu putih, apa rahasianya agar bulunya jadi coklat begitu? Makan
daun kering?”
“Bukan
begitu,” kataku. “Saat aku bersuami, aku menjalin cinta bersama merpati jantan
lain. Apa itu istilahnya? Sepertinya tak ada kata yang tepat untuk itu ya?
Jangan-jangan karena aku adalah merpati pertama yang melakukannya? Ya, Tuhan,
aku merasa sangat bersalah.”
“Aku
tak mengerti maksudmu,” katanya.
“Lupakan
saja,” kataku. “Apa yang terjadi saat aku pergi?”
“Suara
kukur suamimu melemah,” kataku. “Kemudian ia sering mengeluh pundi-pundi
udaranya sakit. Temboloknya juga bengkak. Ia mengurung diri saja di sangkar.
Lupa makan. Sampai suamiku membagi cacing untuknya. Kami sudah mengatakan
relakan saja kematianmu, karena itu bisa saja itu tanda-tanda kalau pasangan
kita sudah mati, tetapi ia bersikukuh kalau kau masih hidup lalu ia terbang
jauh, dengan pincang, untuk mencarimu dan tak pernah terlihat lagi.”
“Ia
tak pernah terlihat lagi?” kataku.
“Makanya
aku sangat bersyukur ternyata suamimu baik-baik saja dan kalian kembali
bersama,” katanya.
Aku
terdiam di situ. Pundi-pundi udaraku mendadak sakit. Aku mengepakkan sayap,
tetapi tak dapat terbang. Rasanya berat sekali tubuh ini. Tembolokku
membengkak. Aku muntah beberapa kali. Sahabatku panik, berkukur memanggil
suamiku. Ia terbang dengan cemasnya. Aku menatapnya dengan pandangan yang
samar-samar. Penglihatanku memburam. Yang kuingat sehelai buluku rontok dan
terjatuh, berayun-ayun di udara, terbawa angin sebentar, lalu terjun lagi ke
bumi, mendarat di daun kering, tepat saat aku mengucapkan maaf. Lalu gelap.
yang biasanya nggak setia tuh merpati jantan sih, digoda cewe lain pas terbang aja langsung turun :))
BalasHapusEnggak pernah main burung dara sayaah. Pas nulis ini riset-riset katanya mereka ganti pasangan kalau pasangannya mati atau dipisahkan oleh empunya karena tak disetujui. :(
Hapusini nyertain burung dara apa merpati sih?
Hapusjinak-jinak merpati, sepertinya mau tapi malu-malu.
BalasHapusItu merpati atau kucing ya? :/
Hapusada-ada aja ide ceritanya marli ini. kapan-kapan bikin cerpen soal burung hantu dong, li. mereka kan jomblo yg pemurung (eh bener ga sih??)
BalasHapusah so sweet. jadi tahu gimana isi kepala dari burung dara yg beberapa hari lalu aku makan :')
BalasHapuskurkuuuurrr.kur kuuuurrr kur kur kuuur kuuuur kuurrr
BalasHapus