Minggu, 03 Februari 2013

Mereka Bilang Aku Setia Sampai Mati


Aku terkejut ketika seorang manusia laki-laki, aku dengar namanya Rio, menyambar suamiku dari sangkar kami. Suamiku memekik-mekik, tetapi cengkraman lelaki itu tak goyah. Sehelai bulu suamiku rontok ke lantai. Aku berkukur ketakutan. Suamiku berkukur minta tolong. Kuberanikan diri mencakar-cakar tangan lelaki itu. Genggamannya sempat longgar, tetapi ia tetap berhasil menculik suamiku. Kemudian aku melongok ke luar. Ia juga menggamitku. Kami dimasukkan ke dalam sangkar baru. Lalu ia membawa kami entah ke mana.

Aku pernah dengar tentang lapangan Sajana ini. Teman-temanku sering berkumpul di satu-satunya pohon di sana, tetapi hanya sementara karena kebanyakan ingin punya tempat tinggal sendiri, bukan di rumah susun. Maka saat aku melihat satu-satunya pohon di sebuah lapangan, aku langsung tahu bahwa ini adalah lapangan Sajana. Laki-laki itu menggantung sangkar kami di sini. Kemudian tangannya masuk, menarikku keluar. Mau diapakan lagi aku ini? Ternyata ia hanya memasangkan pita lantas meninggalkan kami bermalam di sini. Kami bertengger menatap langit. Suamiku merentangkan sayap kanannya dan menyusupkanku di situ. Ia berkukur. Aku bertanya kira-kira kenapa kami ditinggalkan di tempat seperti ini. Suamiku hanya menjawab semua akan baik-baik saja. Ia berkukur lagi. Aku merasakan kehangatan dekapannya, tetapi aku tetap tak bisa dibuat tenang. Besoknya kami tahu kami dijadikan alat untuk prosesi pernikahan, yang caranya tak pernah kulihat sebelumnya. Mereka melepaskan kami ke angkasa.

Di udara, tiba-tiba suamiku berkata. “Kesetiaan kaum kita begitu terkenal sampai dijadikan simbol kesetiaan oleh manusia yang ingin berpasangan.”

Kami terbang begitu jauh sampai masuk ke kebun karet. Di sana kami berhenti dan suamiku memutuskan bahwa kami akan tinggal di situ. Ia membagi tugas. Ia mencari ranting-ranting kecil, aku yang menyusunnya jadi sarang. Ia begitu bersemangat, tetapi aku menjawab dengan iya saja. Pendek. Datar. Aku membangun sarang seadanya. Saat ia membagi larva yang ia dapatkan, tiba-tiba aku merasa kenyang dan tak mau makan. Ia mengusap-usapkan lehernya ke leherku sebelum tidur, aku diam saja, kemudian ia terlelap dengan senyum. Aku masih terjaga. Di tengah kesepian malam, aku menangis. Aku tak tahu perasaan apa yang sedang menjangkitiku. Aku hanya bisa berkukur pilu.

Sungguh aku benar-benar bingung. Ia pun mulai bertanya-tanya kenapa dan aku hanya bisa menjawab tidak apa-apa.

“Apa kita masih perlu mengatakan aku cinta padamu?” rayunya. “Sedangkan kita tidak perlu apa-apa karena setia sudah jadi naluri kita. Meskipun begitu, aku tetap ingin bilang aku cinta padamu dan aku yakin betul kau juga cinta padaku.”

Aku hanya menganga, cara tersenyum untuk makhluk seperti kami. Berhari-hari kami melakukan hal yang sama. Pagi buta ia mencari cacing untuk dimakan berdua. Ia selalu berkukur merdu dan bersyair, tetapi aku tak terbuai dibuatnya. Ia heran ketika aku menolak tawarannya untuk bertelur. Lalu ia tersenyum karena mengira bahwa aku menolak karena tak ingin perhatianku kepadanya terbagi ke anak-anak dulu, hanya karena aku cinta mati padanya. Karena kami adalah makhluk paling setia. Begitu katanya.

Setelah sebulan tinggal hanya berdua di daerah situ datanglah sepasang merpati putih lain. Aku bersorak senang. Mereka kuajak berkenalan duluan. Aku perkenalkan dengan daerah sekitar situ. Sampai sang betina akrab denganku dan aku bisa bercerita semua kepadanya, terutama perasaan yang telah menggangguku sejak sekian lama itu. Ia mendengarkan dengan saksama.

“Mungkin aku sudah tak sayang lagi padanya,” kataku setelah bercerita.

“Maksudmu, kau sudah tak sayang,” katanya. “Tetapi jadi cinta mati?”

“Bukan seperti itu,” aku mendongak dulu menahan air mata. “Seperti aku tak punya perasaan apa-apa lagi padanya. Seperti aku sudah tak peduli lagi dengannya.”

“Itu tak mungkin, Sayang,” kata temanku dengan begitu yakin sampai ia merangkulku. “Kita ini makhluk yang setia. Tak mungkin cinta yang sudah ditambatkan ke seekor merpati jantan bisa hilang begitu saja. Kau perlu mati untuk melakukannya.”

“Mungkin kau ada benarnya juga,” kataku tak puas. Aku pamit pulang.

Aku sedang merapikan ranting dan membersihkannya dari remahan kayu dan daun ketika mendengar suara kukur yang begitu syahdu. Puisi-puisi indah yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku melompat-lompat dan menoleh mencari sumber suara tersebut, lalu kutemukan dirinya bertengger di puncak pohon karet. Sayapnya mengembang begitu gagah. Bulu coklatnya seperti emas yang berkilauan dihujani cahaya matahari. Begitu tampan. Tembolokku berdenyut. Pundi-pundi udaraku kembang kempis. Aku tahu perasaan itu. Kemudian ia menoleh ke arahku, aku langsung buang muka. Saat aku melirik ke arahnya lagi, ia sudah di depanku.

“Halo, Cantik,” katanya. Kemudian ia merayu-rayuku. Aku begitu terbuai sampai membiarkannya mengelus lehernya ke leherku. Aku jatuh cinta.

“Bawa aku pergi dari sini,” kataku. “Cepatlah.”

Aku tak kembali selama sebulan. Sampai aku menelurkan tiga butir cintaku. Aku merawat mereka dengan baik bersama suami baruku. Bergantian mengerami dan mencari makan sampai anak-anakku menetas dengan lucunya. Juga bergantian meneteskan susu tembolok dari paruh kami. Aku merasa bahagia. Sampai aku tak perlu pusing merahasiakan masa laluku karena aku benar-benar sudah lupa. Hingga suatu hari, sahabatku dan suaminya sampai ke wilayah kami.

“Terima kasih, Tuhan,” katanya tiba-tiba bertamu. Kukurannya heboh sekali. “Akhirnya suamimu menemukanmu juga.”

Aku langsung menariknya ke tempat yang tak terlihat suamiku. Aku harus mengatakan yang sebenarnya, tetapi rasanya begitu sulit. Suaraku tertahan di tembolok. Aku terpejam dan beberapa kali mengembuskan napas. “Dia bukan suamiku yang dulu,” kataku cepat.

“Yah, dia terlihat berbeda,” katanya. “Dan tampak semakin cinta padamu. Begitu kan? Dulu kan bulu suamimu putih, apa rahasianya agar bulunya jadi coklat begitu? Makan daun kering?”

“Bukan begitu,” kataku. “Saat aku bersuami, aku menjalin cinta bersama merpati jantan lain. Apa itu istilahnya? Sepertinya tak ada kata yang tepat untuk itu ya? Jangan-jangan karena aku adalah merpati pertama yang melakukannya? Ya, Tuhan, aku merasa sangat bersalah.”

“Aku tak mengerti maksudmu,” katanya.

“Lupakan saja,” kataku. “Apa yang terjadi saat aku pergi?”

“Suara kukur suamimu melemah,” kataku. “Kemudian ia sering mengeluh pundi-pundi udaranya sakit. Temboloknya juga bengkak. Ia mengurung diri saja di sangkar. Lupa makan. Sampai suamiku membagi cacing untuknya. Kami sudah mengatakan relakan saja kematianmu, karena itu bisa saja itu tanda-tanda kalau pasangan kita sudah mati, tetapi ia bersikukuh kalau kau masih hidup lalu ia terbang jauh, dengan pincang, untuk mencarimu dan tak pernah terlihat lagi.”

“Ia tak pernah terlihat lagi?” kataku.

“Makanya aku sangat bersyukur ternyata suamimu baik-baik saja dan kalian kembali bersama,” katanya.

Aku terdiam di situ. Pundi-pundi udaraku mendadak sakit. Aku mengepakkan sayap, tetapi tak dapat terbang. Rasanya berat sekali tubuh ini. Tembolokku membengkak. Aku muntah beberapa kali. Sahabatku panik, berkukur memanggil suamiku. Ia terbang dengan cemasnya. Aku menatapnya dengan pandangan yang samar-samar. Penglihatanku memburam. Yang kuingat sehelai buluku rontok dan terjatuh, berayun-ayun di udara, terbawa angin sebentar, lalu terjun lagi ke bumi, mendarat di daun kering, tepat saat aku mengucapkan maaf. Lalu gelap.


8 komentar:

  1. yang biasanya nggak setia tuh merpati jantan sih, digoda cewe lain pas terbang aja langsung turun :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak pernah main burung dara sayaah. Pas nulis ini riset-riset katanya mereka ganti pasangan kalau pasangannya mati atau dipisahkan oleh empunya karena tak disetujui. :(

      Hapus
    2. ini nyertain burung dara apa merpati sih?

      Hapus
  2. jinak-jinak merpati, sepertinya mau tapi malu-malu.

    BalasHapus
  3. ada-ada aja ide ceritanya marli ini. kapan-kapan bikin cerpen soal burung hantu dong, li. mereka kan jomblo yg pemurung (eh bener ga sih??)

    BalasHapus
  4. ah so sweet. jadi tahu gimana isi kepala dari burung dara yg beberapa hari lalu aku makan :')

    BalasHapus
  5. kurkuuuurrr.kur kuuuurrr kur kur kuuur kuuuur kuurrr

    BalasHapus