Sabtu, 02 Februari 2013

Kutunggu Kau Besok di Bawah Pohon Mangga Lapangan Sajana

Aku biasa makan di warung pinggir jalan ini. Banyak orang yang berlangganan, sering kulihat makan di sini. Banyak juga wajah-wajah baru yang muncul. Mereka banyak juga macamnya. Di antara ratusan, ada seorang wanita yang entah kenapa bisa membuatku iseng bertanya. Pesanan ayam bakarnya baru saja sampai bersamaan dengan pesananku, ia mengatupkan kedua genggam tangannya, memejamkan mata, dan bibirnya mengomat-ngamitkan doa. Banyak orang yang religius sepertinya di sini, tetapi ia punya sesuatu yang sudah kubilang tadi.

“Apa yang kau ucapkan saat kau berkomat-kamit seperti tadi?” kataku sambil mencolekkan potongan daging ke sambal.

“Aku berterima kasih kepada Tuhan karena telah diberi nikmat makanan enak seperti ini,” katanya. “Di saat banyak orang yang tak bisa makan.” Jawaban yang sudah kuduga sebenarnya.

“Aku tak pernah berdoa sebelum makan,” kataku. “Lagi pula doaku sampai ke mana karena aku tak percaya Tuhan.”

Tangannya yang hendak menyuap nasi sampai bergantung di udara. “Lalu bagaimana kau berterima kasih atas nikmat yang kaudapatkan?” katanya.

“Aku kasih tahu nanti setelah makanan kita habis dan bayar,” kataku.

Kuperhatikan makannya jadi lebih cepat. Ia pasti mengabaikan saran para ahli pencernaan yang menyuruh kita mengunyah sampai tiga puluh kali sebelum menelan. Aku perlambat saja makanku agar ia semakin penasaran dan gemas. Kemudian ia bangkit dan membayar makanannya sendiri lantas menuntutku jawaban tersebut. Aku dengan santainya mencuci tanganku dengan air jeruk nipis di mangkuk kecil dan mengeluarkan uang dari dompet. Aku bayar dengan uang pas.

“Makasih ya, Pak, udah bikinin saya ayam goreng yang enak,” kataku. Bapak penjual tersenyum semringah sekali dan mengatakan terima kasih kembali. Aku menoleh ke perempuan tadi. “Begitulah caraku bersyukur, cara yang sering terlupakan orang-orang. Maka ironis sekali bila ada orang religius yang berterima kasih kepada sesuatu yang tidak terlihat, tetapi mengabaikan hal yang terlihat, padahal hal yang terlihat itu yang terlibat langsung.”

Perempuan itu sedikit terbelalak. Mungkin ia tersentak dan merasa tersindir karena setelah itu ia mengucapkan hal yang sama pada bapak penjual, tetapi dengan terbata-bata, menandakan bukan kebiasaannya dan ia melakukannya karena malu padaku. Aku berpamitan setelah keluar tenda. Baru saja aku berbalik, ia berkata.

“Boleh kenalan?”

Aku tersenyum dan segera menghapusnya sebelum menghadap. Aku mengulurkan tangan, “Seno.”

Senyumnya manis sekali malam itu. Namanya Purnama.

***

“Bagaimana kau dengan Candela?” kataku pada Rio, sahabatku, dua tahun setelah itu. Dia masih tak mau diajak bermalam minggu?”

“Ah malas aku memikirkannya,” kata Rio. “Kuputuskan saja dia besok.”

“Aku mau melamar Purnama,” kataku tiba-tiba. Ia langsung tersentak, meja berguncang, gelas dan piring berdenting.

 “Kau mau melamar Purnama?” katanya Aku jawab dengan satu iya yang bulat dan tegas, tak ada ragu-ragu menyelip di sorot mataku. “Memangnya tak ada masalah? Dia kan beragama, sedangkan kau hanya memuja diri sendiri. Akad atau ikrar pernikahan adalah aturan agama. Bagaimana pula seorang ateis menikah dengan mematuhi aturan sebuah agama?”

“Aku sudah memperkirakan itu,” kataku. “Tapi itu sudah kupikirkan matang-matang. Aku hanya butuh bantuanmu.”

Ia mendekat, terlihat begitu tertarik. Aku menceritakan semua rencanaku.

***

“Aku baru sadar satu hal,” kata Purnama. “Bagaimana caranya kita menikah? Apa kau mau mengucapkan ikrar pernikahan di altar?”

“Aku tak mau seperti itu,” kataku. “Itu kan produk agamamu. Kalau mengikutinya, aku akan melanggar ketidakpercayaanku dan aku akan menyesalinya seumur hidup.”

“Tapi bagaimana kata orang nanti?” katanya. “Bagaimana kata pendeta? Pasti mereka menganggap pernikahan kita tidak sah. Kalau begitu, pasti pernikahan kita tidak sah menurut negara juga. Aku tak mau kalau menikah tanpa diakui siapa pun.”

“Batalkan saja kalau begitu.”

“Tapi pernikahan kita itu besok, Seno!” katanya. “Aku tak mau tahu. Kau harus datang ke gereja seperti yang telah direncanakan.”

“Aku hanya mau bilang,” kataku. “Kalau aku tak datang, temui aku dekat satu-satunya pohon di lapangan Sajana.”

***

Purnama cantik sekali. Gaunnya indah memanjang sampai terseret di lantai. Ia mencoba berjalan di ruang rias. Berputar di depan cermin. Ia terlihat begitu bahagia. Begitulah kata Rio, yang berdiri di ambang pintu memerhatikannya, mencari celah waktu yang tepat untuk mengatakan kepadanya bahwa aku tak datang. Rio mengatakannya dengan cepat. Purnama terduduk di kursi, termangu selama beberapa menit, berkali-kali bertanya kepada Rio apakah yang Rio sampaikan itu benar. Rio tak menjawab. Purnama meraung sejadi-jadinya. Make-upnya luntur, gaunnya berantakan. Acara tertunda. Para tamu mulai berbisik, berisik dengan gosip. Pendeta sudah gelisah berdiri. Kemudian Purnama berhenti menangis dan bangkit.

“Acara tetap harus berjalan,” kata Purnama. Ia berjalan cepat menuju pintu depan gereja. Rio membantunya membuka pintu. Kemudian seperti seorang pengantin wanita yang sudah ditunggu pengantin pria di depan altar, ia berjalan. Tersenyum kepada orang dengan polesan wajah yang acak-acakan. Rambut yang semrawutan. Orang-orang tersentak. Sesampainya ia di depan altar, pendeta mengatakan padanya bahwa pernikahan tak bisa dilanjutkan bila tak ada pengantin pria.

“Di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya di sini, saya mengakui bahwa Seno Damira adalah suami saya, karunia Tuhan,” kata Purnama. “Saya berjanji akan senantiasa mengasihinya dan menolongnya dan setia baik di dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, di kala untung maupun malang, sesuai dengan kewajiban seorang istri yang baik. Saya dan suami saya akan senantiasa berbakti kepada Tuhan dan hidup suci dengan mematuhi firman-Nya, sampai maut memisahkan kami.”

Ia memasangkan kembali cincin pertunangannya di jari manis. “Saya pikir itu cukup untuk mengesahkan kami sebagai suami istri.”  Purnama berbalik, meninggalkan pendeta yang termangu di balik altar dan orang-orang yang pandangan matanya tak lepas darinya sampai ia menghilang di balik pintu. Ia menghampiri Rio dan meminta sahabatku itu mengantarkannya kepadaku. Begitulah cerita Rio.

Aku menunggu di depan mohon mangga ini, menatap sepasang merpati di sangkar yang tergantung di hadapanku. Di sekeliling terikat hewan-hewan yang berpasangan yakni kelinci, kucing, kambing, anjing, kura-kura, dan ikan. Beberapa sahabatku dan sahabatnya sudah berkumpul di sana. Aku merapikan lagi kancing tuxedo ini, mengelap keringat yang mulai menetes, dan mulai mempertanyakan ia akan datang atau tidak.

Mereka muncul. Purnama turun dari mobil dan menatapku dari jauh. Lantas ia melepaskan sepatu haknya, menentengnya, dan berjalan cepat ke arahku, memijak tanah lembap. Kemudian dipukullah kepalaku keras-keras sampai aku pening.

“Cepat, sekarang giliran prosesimu,” katanya. Aku yang tadi hampir marah kembali tersenyum lagi.

Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang.

“Di depan pohon mangga dan konsumen-konsumen buahnya di sini, saya mengakui bahwa Purnama Senjaya adalah istri saya, makhluk paling berharga buat saya,” kataku. “Saya berjanji akan senantiasa mengasihi dan menolongnya dan setia baik di dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, di kala untung maupun malang, sesuai dengan kewajiban seorang suami yang baik. Saya dan istri saya akan senantiasa berbakti kepada alam semesta dan hidup damai dengan makhluk-makhluk yang ada di bumi ini, sampai maut memisahkan kami dan menjadikan kami zat organik yang dibutuhkan pohon mangga, saksi pernikahan kami sekarang ini, dan tanaman lainnya.”

Aku mencopot cincin tunangan dan menggantinya dengan cincin pernikahan di jari tengahnya. Ia juga melakukan hal yang sama. Kemudian aku buka pintu sangkar burung merpati, memberikan yang berpita kepadanya. Satu buatku. Kami lepaskan merpati itu. Para sahabat yang menyaksikan bertepuk tangan dan di depan mereka tanpa malu kami berciuman mesra.


9 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Yang jadi pertanyaan, andai nanti ada masalah yang sangkut paut sama Kartu Keluarga, gimana Purnama dan Seno nanggapinnya ya?

    Cara tutur yang great by the way!

    (Blogwalking On Mine: http://danazumario.tumblr.com)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih. Semua sudah diatur karena Seno anaknya Pak Camat. :p

      Hapus
    2. jangan bilang kalo Purnama itu anaknya Bu Lurah :))

      Hapus
  3. seno, burung merpati, dan lapangan Sajana. Si Ibu buta hadir gak, Li?. eh bagain ini aku ramudeng "Aku menunggu di depan mohon mangga ini, menatap sepasang merpati di sangkar yang tergantung di hadapanku. Di sekeliling terikat hewan-hewan yang berpasangan yakni kelinci, kucing, kambing, anjing, kura-kura, dan ikan" pie?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cuma jadi saksi. Haha.
      Nah itu sih jeleknya cerita yang dibuat cuma dalam sehari. Ini first draft pula. Haha. Banyak cacatnya. Ibarat Katy Perry belum di-make up. Tsk!

      Hapus
    2. waaw 1st draft aja udah lancar begini pembawaannya.
      kalaupun udah diupload, diedit lagi kan gapapa om? :)

      Hapus
  4. akankah Purnama menemukan merpati lain bersayap coklat? eh

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh penulis.

    BalasHapus