Sebuah kicauan sumbang tentang tulisan Gita berjudul Als Ik Eens juncto Sedikit Tanggapan Buat Heru.
Git.
Kudengar kau mengeluh di sana, di kota yang kausiratkan bukan salah satu
kota wisata, yang kausiratkan tak memiliki gunung yang rimbun dan pantai yang
menawarkan senja. Yang kausiratkan lebih mirip tempat pembuangan seperti pulau
Buru pada era orde baru. Yang kaubilang tak mungkin
ada yang iri dengan kota penempatanmu itu. Kau pun berandai-andai ditempatkan
di Jakarta.
Aku
penempatan
di Jakarta. Aku masih menghuni istana orang tuaku dan bernapas dengan
kasih sayang
mereka. Setiap hari aku bertemu dengan keluargaku, mendengar kecerewetan
ibuku
yang begitu perhatian menyuruhku segera makan malam, mendengar tawa ria
adikku yang genit mencoba pakaian barunya hadiah dariku. Juga setidaknya
sekali dalam seminggu aku bertemu dengan kekasihku, berbagi cerita dan
kebahagiaan. Aku menjemput dan mengajaknya duduk-duduk di taman. Itu
membuatnya senang.
Dia mentraktirku jajanan yang lalu lalang. Itu membikinku riang. Kami
berdua saling memberi sepenuh kemampuan, bukan
hanya pengorbanan sepihak seperti membeli tiket pesawat termahal untuk
menemui seseorang
dalam beberapa jam di Jakarta, seperti yang kaulakukan, seperti yang
selalu bisa
kausombongkan itu. Mengetahui ini, kau tidak sampai berandai-andai jadi
diriku
kan?
Git,
Kudengar yang kaukeluhkan adalah kelakuan mereka—yang penempatan
di
Jakarta, bisa saja termasuk aku—yang katamu kesombongannya melebihi
Firaun
sehabis menang undian siapa-yang-menjadi-raja di alam sebelumnya.
Entahlah,
kurasa mereka memang berhak merasa menang. Bermusabab, semasa pendidikan
dulu
mereka menahan berahi untuk mengingari dunia, demi sebercak ilmu setiap
harinya, untuk menggenggam
hasil tinggi, sampai menggadaikan waktunya bersuka ria, sebagai agunan
untuk
masa depan yang lebih menentramkan. Untuk dapat bisa menginjak rumput di
pekarangan rumah sendiri setiap pulang kerja. Dan akhirnya mereka
berhasil menang, bukan atas siapa-siapa, melainkan atas diri mereka
sendiri saja.
Bukankah kita berdua, juga teman-teman sekorsa lain, dari awal sudah
tahu bahwa kota penempatan adalah imbas dari apa yang kita lakukan semasa
kuliah dulu? Sebagaimana surga untuk balasan pahala dan neraka untuk balasan
dosa, kalau kau masih percaya keduanya. Kurasa kau bisa menilai sendiri
bagaimana kau menghidupkan masa-masa kuliahmu. Maka ketika kau menentukan gaya
hidup, saat itulah kau memilih konsekuensimu. Pun bila terlanjur hanyut ke sana,
kau bisa memanfaatkan setiap jumput kesempatan yang bisa saja tak pernah ada
yang kedua, seperti diklat kemarin, atau kau masih mengambil konsekuensi yang
sama?
Lelaki boleh saja menangisi keadaan, wahai temanku Gita, tetapi nista
baginya untuk mengeluhkan konsekuensi yang telah dicakupnya. Mengeluh hanyalah
hak lelaki yang telah berjuang mati-matian mengeluarkan dirinya sendiri dari
ketidaknyamanan. Itu pun sejenak lalu, seperti bernapas ketika setengah menenggak jamu.
Git,
Aku pernah mencuri dengar kau mengutuk FPI yang bersikeras melarang
warung-warung kecil untuk berjualan ketika bulan puasa. Mereka pikir itu
perbuatan intoleran kepada orang-orang yang sedang beribadah menahan lapar dan
dahaganya. Kaubilang, bukankah seharusnya kaum muslim yang berpuasa pun tahan
bila orang-orang tersebut makan di hadapannya? Kenapa mereka yang tidak
berpuasa harus ikut berpuasa? Entah mengapa ketika kau menganggap mereka yang
penempatan di Jakarta memamerkan kesenangan adalah intoleransi kepada
teman-teman sepertimu yang tereban di antah berantah, rasanya aku menangkap ada
setadah iras antara fikrahmu itu dan adicita orang-orang yang mengaku sebagai
pembela agama islam tersebut. Kau hanya sedang puasa, Gita, hanya saja lebih lama
dari biasanya dan tak tahu kapan bisa berbuka.
Git,
Pernahkah kau mendengar ceritaku tentang Topeng Malaikat? Kuberitahu
kau, Git, terkadang orang memajang kebahagiaannya di tempat umum hanya untuk
menutupi kesulitannya. Mereka terus membungkusnya dengan senyuman yang
dipaksakan sampai yang tampak dari luar hanyalah kesempurnaan. Mereka tampak
bersyukur seperti malaikat. Namun itu hanyalah topeng belaka, karena di hati
masih tebersit keluhan. Atau mungkin sebaiknya aku membuka topeng malaikatku? Tapi tidak
di sini. Lebih baik kita duduk mengelilingi meja bundar. Kau meneguk bir dan
mengisap rokokmu; aku meneguk susu kedelai dan mengunyah astorku. Bukan untuk
merebutkan posisi siapa yang paling menderita di antara kita berdua, tetapi kita
memang harus menyempatkan diri untuk menertawai nasib diri sendiri dan saling menertawakan. Maka dari
itu, kadang mengeluh jadi pahala bagi orang yang terlihat sempurna itu. Karena itu
membuat orang yang tersilaukan matanya menjadi tahu, bahwa tidak semenyenangkan
itu jadinya dan bersyukur dengan keadaan diri sendiri. Maka,
aku berterima kasih padamu, yang telah mengeluh dan membuatku semakin mensyukuri segala
nikmat yang diamanahkan kepadaku, yang justru membuat Tuhanku menambahkan nikmatnya lagi.
Git,
Kalau kau punya waktu senggang, bacalah esai God, Suicide, and the Meaning of Life dari
Mark Conard, seorang filsuf Amerika. Dia menggunakan cerita film Shadows and Fog milik Woody Allen
sebagai alat bantu. Dia mengatakan bahwa, "Kita butuh distraction, kita butuh ilusi dan penipuan-diri, untuk
menghindarkan kita terhadap "kenyataan menyakitkan dari hidup". Maka
dari itu, untuk menghindarkan kau dari mengeluh, kau harus punya
pengalih
perhatian, kawan. Kutahu kau pandai menulis. Selain itu, kau juga pernah
memamerkan dirimu yang pernah ditawari sebuah penerbit untuk membukukan
tulisan-tulisanmu agar semakin banyak orang yang membaca. Kenapa tak
kaumanfaatkan saja itu? Kau bisa tenggelam di untaian-untaian kata yang
kausulam, ditemani suara jangkrik malam hari, diterangi bintang yang
sinarnya
laksana ilham di ujung jari. Waktumu kan tak habis terbakar jadi asap
knalpot.
Tenagamu juga tak habis untuk menyangga motor di persimpangan. Dan
kuyakin besoknya tak
pernah terpikir lagi olehmu keluhan-keluhan bodoh itu.
Aku takut kau jadi
terbiasa mengeluh, kawan. Aku takut kau berakhir menjadi seperti apa yang
dikatakan oleh sang penyair berkebangsaan Inggris bernama Samuel Johnson itu. Ucapannya begitu menyeramkan. Ia berujar, "Man alone is born crying, lives complaining, and dies disappointed."