Ketakutanku akan gelap selalu berhasil merantai kakiku
dalam pekat. Dan ia, ketika matahari menduduki singgasana angkasa pun, tetap
mengungkungku dengan bayang-bayangnya. Ia tumbuh panjang seiring lembayung
menyeruak. Kemudian saat malam ia menyatu dengan semesta, menjadi raksasa, dan
aku tertelan dalam kengerian yang selalu ia kibaskan.
Ayah mendekapku dari belakang. Ibu menggenggam
tanganku. Aku terpejam namun hangatnya terasa. Aku terlelap namun terjaga.
Aman. Sejuk meniup. Selimut mengusir gigil. Gulita mempersiapkan segala asa
untuk pagi buta. Di pusat kenyamanan aku meringkuk, kemudian keadaan
menceburkanku ke dalam trauma di sebuah mangkuk.
Gemeretak jendela depan meyibak mataku. Telingaku
mengais-ngais derap di lantai. Meja berderit. Laci berdecit. Aku mengintip dari
rasa kantuk. Pintu berayun. Seseorang menyelinap sembari menggenggam cahaya.
Mata parang mengedip penuh gertakan. Aku terpejam lekat-lekat. Orang itu
mengusik lemari. Pintunya yang sudah usang memekik. Ayah mencelik lantas
mendelik ke deraknya. Belum sempat perampok itu merogoh harta kami, ayah
menyela. Cahaya di tangan maling itu terlontar. Mereka bergelut buta. Ibu
terbangun dan menyembunyikanku dalam pelukannya. Aku mulai terisak.
“Tenanglah, Dela,” kata ibu.
Kami berdiam dan berdoa. Takut terjadi apa-apa.
Kemudian ayah berteriak. Lantang sekali. Ayahku orang kuat, ia tak pernah
terlihat kesakitan. Namun saat itu aku tahu bahwa ia pun bisa terluka. Gerasak
barang-barang mengalir ke pintu keluar. Perampok itu sudah pergi. Ibu
menyalakan lampu. Darah tepercik ke seprai, lantai, dan dinding. Ayah mengerang
di lantai. Pinggangnya menganga.
Aku mengerang. Ingatan tentang kejadian itu selalu
menyala dalam gelap. “Ayah tak tahu seberapa takutnya aku itu akan terjadi lagi
setiap hanya gelap di sekelilingku.”
“Sudah cukup, Yah,” kata ibu. Melihat mataku
berkedut-kedut di balik kelopak. “Tak bisakah kau rasakan ketakutannya?”
“Ia tak boleh
pilih kasih pada sebuah keseimbangan,” kata ayah. “Memilih terang sebagai
teman, namun enggan menyapa gelap. Mereka akan memberatkannya sebelah dan
membuatnya bimbang dalam kalap.”
“Ia akan siap bila sudah waktunya,” kata ibu. “Biar ia
yang memunculkan kesiapannya sendiri.”
Ayah mengalah. Ia menggiringku ke kamar. Ia selalu
ingin mengusir fobia yang telah merasukiku lebih dari sewindu itu. Sayang aku
tak pernah mampu. Dadaku masih naik turun mengisap kekuatan. Semburat sinar
menembus kelopak mata lantas aku membelalak agar menyerap sebanyak-banyaknya
cahaya. Peluhku bercucuran. Aku seperti lilin yang meleleh. Bila terlalu lama,
mungkin aku akan berbaur dengan gelap. Ayah memberiku segelas air. Aku
meneguknya seperti unta. Setelah aku menenang, ia meminta maaf seperti
dulu-dulu, namun kali ini juga mengatakan bahwa itu kali terakhir ia
melakukannya. Ia keluar kamarku. Tanpa menutup pintu karena memang tak ada
pintu di kamarku. Aku juga tak punya saklar. Lampu kamar dan ruang di depan
kamarku tak pernah beristirahat. Kaca jendela kamarku pun sebelah kaca
menghadap luar, sebelah cermin dalam kamar. Cahaya boleh masuk, namun takkan
pernah bisa kabur.
Aku bercermin. Kulitku menyerap sebagian besar sinar.
Coklat muda. Hasil akumulasi dari kebiasanku berendam di kolam cahaya.
Berlari-lari di bawah matahari. Terpanggang tanpa sadar. Berfotosintesis
menghasilkan keberanian. Aku tak pernah masuk definisi cantik jika cantik itu
hanya putih. Takkan pernah dicintai jika yang menarik hanya yang cantik.
“Candela,” kata Rio. “Kebahagiaan membuat hidupku tak
seimbang. Laksana neraca yang bergontai. Maukah kau menjadi bandulnya, tempatku
berbagi kebahagiaan itu?”
Ia menyapa di awal dua puluhku, bagai sebuah pelita
yang mengalihkan perhatianku dari malam beku.
“Kenapa kau tak pernah bersedia kuajak bermalam
minggu?” Rio selalu mempertanyakan itu ketika aku minta diantarkan sebelum
matahari terbenam. “Candle light dinner, di
bawah langit berbintang, dengan alunan ombak, dengan penyejuk angin laut.
Bukankah itu impian setiap wanita?”
Aku hanya berkata. “Mereka hanya sebuah
ketidakabadian. Mengapa mencari sesuatu yang hanya bisa bertahan dalam malam?
Apa kau hanya tak bisa mengalahkan matahariku dan selalu berusaha menyelinap saat ia tak sadar?”
Dan pertanyaannya selalu kubalik dengan pertanyaan lagi. Tanpa bisa ia jawab.
Akhirnya kami jarang sekali bertemu. Ia hanya punya waktu setelah senja dan tak
pernah nyaman bercengkrama di ruang tamuku saja.
Kesabarannya berlubang. Keraguannya menyelinap lewat
celah-celah, merobeknya sampai ruang hatinya penuh ketidakyakinan. Ia
memutuskan hubunganku Sabtu siang itu. Belum sempat aku duduk, ia berdiri dan
mengatakannya, lantas meninggalkanku yang terekat di sana. Kekesalanku membakar
lilin-lilin keceriaanku di balik mata, membuatnya meleleh sampai jiwaku terasa
padam, terembus kekecewaan.
Aku pulang, mengucap salam pada ibu dan Bu Yati,
wanita tua tunanetra yang selalu memijat punggungnya Sabtu petang, lantas melengos
sampai kamar. Di tempat tidur aku merebah, mengangkat kaki, menopang pinggang.
Sikap lilin, kata guru olahraga SD-ku. Saat pertama mencobanya, aku merasa
mendapat kekuatan yang membuatku ketagihan dan bertahan. Aku bisa menyerap
energi bumi dan membakarnya di kakiku, menyalakan semangatku untuk tetap
melangkah maju. Lantas aku berdiri di ambang pintu, memerhatikan ibu. Ketika
mereka selesai aku mendekat, ingin mencoba. Seiring Bu Yati menghentak-hentak
tubuhku, tangan ajaibnya memungut sampah penyumbat dari saluran energiku, dan
tenaga dari bumi yang kuserap mengalir ke seluruh penjuru. Sampai kepalaku
bertunas sebuah pertanyaan.
“Bu, maaf kalau tak sopan,” kataku. Ia mendehamkan
izinnya. “Bagaimana rasanya selalu melihat kegelapan?”
“Rasanya seperti punya banyak mata,” kata Bu Yati.
“Kalau kau hanya punya dua mata, yang kau liat hanya terbatas pada yang
benar-benar ada, sedangkan ibu bisa melihatmu dengan segala rupa.”
“Apa ibu tak takut?”
“Untuk apa kau takut kalau kau bisa melihat
segalanya?” katanya sambil menekan belikatku.
Aku terdiam sejenak, terpejam, energi Bu Yati mengalir
ke darah.
“Ibu mau mengajariku melihat dalam gelap?” Mataku
terbuka saat mengatakannya, lidahku berada di bawah kendali kesadaran. Tanpa
jeda, Bu Yati mengiyakan.
Tubin, Bu Yati menutup mataku dengan kain kecilnya,
mengikatku di tiang ketakberdayaan, menggiringku pada ketidaktahuan. Entah
kemudian aku berada di mana. Tak ada cahaya menunjuk. Aku hilang arah. Yang
berbisik hanya desing-desing sayap. Lalu Bu Yati membuka penutup mataku. Pandanganku
samar-samar. Titik-titik beterbangan, melintasi mataku, telinga, kolong kakiku,
sela jariku.
“Ketiadaan membuat jiwa-jiwa kecil merasa ada, merasa
hidup, merasa berharga. Ketiadaan adalah kebutuhan. Kau bisa melihat hal-hal
besar di bawah surya, tetapi kau akan melupakan hal-hal kecil, yang penting,
yang berharga, karena surya hanya ingin kau tahu sebagian saja. Bawalah mereka
pulang. Mereka akan menyerap ketakutanmu, menjadi pendar-pendar kekuatan yang
bisa kau pakai untuk mengganti ingatanmu itu. Kita ini sebuah titik di selembar kertas dan titik pun hanya
terlihat di depan ketiadaan. Apa artinya kita tanpanya?”
Bu Yati mengoleskan sesuatu yang katanya cairan
penggoda cahaya. Aku keluar pintu, berjalan pulang, ternyata tak jauh dari
rumah. Aku berputar di tiang, melompati partisi jalan, mengayunkan tangan,
melangkah lebar-lebar. Mereka mengalir di sekelilingku, melindungi. Aku
berkenalan dengan banyak hal. Sirius menyalak-nyalak di angkasa, menyalakan suasana.